Minggu, 11 Desember 2011

Ushul Fiqih (IJMA')


IJMA’ SEBAGAI DALIL HUKUM FIQIH
Oleh : Zainul Khikam (2031110010)
  1. PENGERTIAN IJMA’
Secara etimologi ijma’ mengandung dua arti :1
1.       Ijma’ dengan arti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Dapat dilihat dalam firman Allah surat yunus ayat 712
فاجمعوا امركم وشركائكم
Artinya : “...karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu(untuk membinasakanku)....”.
Dan juga dalam hadits nabi
لا صيام لمن يجمع الصيام من الليل
Artinya : “ tidak ada puasa bagi orang yang tidak mengijma’kan puasa itu dimalam hari”. Maksudnya tidak mencita-citakannya. Oleh karena itu,maka ijma’ dinamakan ittifaq (kesepakatan) para mujtahid.3
2.       Ijma’ dengan arti sepakat, dapat dilihat dalam firman Allah surat yusuf ayat 154
فلما ذهبوا به واجمعوا ان يجعلوه في غيابة الجب 
Artinya : “ maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya kedasar sumur”.
Sedangkan arti ijma’ dalam istilah teknis hukum atau istilah syara’ terdapat perbedaan. Akan tetapi saya langsung membahas pengertian ini yaitu pendapat dari Abdul Wahab Khallaf, yang juga dikutip oleh ulama’ lainnya yaitu
اتفاق جميع المجتهدين من المسلمين في عصر من العصور بعد وفات الرسول علي حكم شرعي في واقعة من الوقائع
“ consensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul wafat atas suatu hukum syara’ mengenai suatu kasus. “
Ijma’ itu berlaku dalam setiap masa oleh seluruh mujtahid yang ada pada masa itu, dan bukan berarti kesepakatan mujtahid semua masa sampai hari kiamat.5[1]
Disebutkan secara jelas dalam definisi ini “hukum syara’” mengandung arti bahwa kesepakatan itu hanya terbatas dalam masalah hokum amaliah dan tidak menjangkau pada masalah aqidah. Dalam definisi ini juga ditentukan kepada hokum yang terjadi, namun tidak tertutup kemungkinan kesepakatan itu berlaku terhadap hokum yang masalahnya belum terjadi, baik dalam bentuk hokum isbat atau hokum nafi.
  1. RUKUN IJMA’
Dikatakan dalam definisi bahwa sepakat semua mujtahid muslim pada suatu masa terhadap hokum syar’i. dari pengertian itu dapat  diambil kesimpulan bahwa rukun ijma’ itu ada empat ;6
1.       Pada terjadinya peristiwa itu, mujtahid itu jumlahnya lebih dari satu orang. Apabila pada saat itu tidak ada mujtahid atau ada  akan tetapi hanya satu orang. Maka ijma’ tidak dapat terlaksana secara hokum.7 Ada yang mengatakan sekurang-kurangnya jumlah mujtahid yang diperlukan untuk mewujudkan ijma’ itu adalah tiga orang. Sebagian ulama’ mensyaratkan jumlah itu harus mencapai batas tawatur sehingga aman terjadinya kesalahan.8
2.       Sepakat atas hokum syar’i tentang suatu peristiwa, seluruh mujtahid muslimin itu pada waktu terjadinya itu mengalihkan pandangan dari negerinya,atau bangsanya,atau golongannya.9 Kalau yang mencapai kesepakatan itu hanya sebagian mujtahid, atau mujtahid kelompok tertentu,wilayah tertentu, atau bangsa tertentu, maka kesepakatan itu tidak dapat disebut ijma’, karena ijma’ itu hanya tercapai dalam kesepakatan menyeluruh.10 Dalam suatu buku bahkan disebutkan bahwa tidak diakui sebagai ijma’, kesepakatan :11
a.       Suara terbanyak
b.      Kesepakatan mujtahid dua tanah haram dari golongan salaf
c.       Kesepakatan Ulama’ salaf kota Madinah saja
d.      Kesepakatan Ulama’ salaf yang mujtahid dari dua kota Bashrah dan Kuffah, atau salah satunya saja
e.      Kesepakatan ahli bait Nabi saja
f.        Kesepakatan Khulafaurrasyidin saja[2]
g.       Kesepakatan dua orang syekh : Abu Bakar dan Umar karena adanya pendapat lain dari mujtahid lain, membuat kesepakatan mereka itu tidak qath’y (diyakini) keabsahan dan kebenarannya.
3.       Mengeluarkan pendapat secara terang-terangan atas hasil dari usaha ijtihadnya baik pendapatnya itu dikemukakan dalam bentuk ucapan dengan mengemukakan fatwa tentang hokum kejadian itu atau dalam bentuk perbuatan dengan memutuskan hokum dalam pengadilan disaat kedudukannya sebagai hakim. Penyampaian pendapat itu mungkin dalam bentuk perorangan yang kemudian ternyata hasilnya sama; atau secara bersama-sama dalam satu majlis yang sesudah bertukar pikiran ternyata terdapat kesamaan pendapat.12
4.       Menetapkan kesempatan dari semua mujtahid terhadap suatu hokum. Kalau kebanyakan mereka itu sepakat tidak akan mengadakan siding,dengan kesepakatan secara ijma’, hal ini boleh dijalankan. Disini jumlah mujtahid itu kurang atau sebaliknya,jumlahnya itu banyak dan menyetujui itu lebih banyak jumlahnya. Selamannya terdapat perbedaan pendapat. Masing-masing pihak itu terdapat hal-hal yang mengandung kebenaran. Kebanyakan yang tidak ada kesepakatan itu ialah hujjah syari’ah qath’y.13
  1. KEDUDUKAN IJMA’ SEBAGAI DALIL HUKUM
Para Ulama’ Ushul Fiqh mendasarkan kesimpulan mereka bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan hokum kepada berbagai argumentasi, antara lain14
Surat an-Nisa’ ayat 115 ;15
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدي ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولي ونصله جهنم وساءت مصيرا (النساء /4 : 115)
“ dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukkan ia kedalam neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. ( QS. An-Nisa’/4:115)
Begitu juga didalam surat al-Baqarah : 143, Ali Imran : 110 dan 103, al-Nisa’ : 5916
Hadits Rasulullah, Riwayat Abu Daud dan Tirmidzy :
عن ابن عمر ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال ان الله يجمع امتي او قال امة محمد صلي الله عليه وسلم علي ضلالة ( رواه الترمذي )
“ Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda : “ sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku, atau beliau berkata umat Muhammad SAW atas kesesatan. (HR at-Tirmidzi).
  1. PERINGKAT IJMA’17
Tingkatan kualitas ijma’ :
a.       Ijma’ sharih
Yaitu ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan pendapatnya tentang hokum tertentu secara jelas dan terbuka, baik melalui ucapan (hasil ijtihadnya diperluaskan melalui fatwa), melalui tulisan atau dalam bentuk perbuatan (mujtahid yang menjadi hakim memutuskan suatu perkara) dan ternyata seluruh pendapat mereka menghasilkan hokum yang sama atas hokum tersebut.didalam buku disebutkan ijma’ sharih juga disebut ijma’ qath’y atau ijma’ bayani atau ijma’ qauly.18 Ijma’ semacam ini jarang sekali terjadi. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa ijma’ ini hanya mungkin terjadi pada masa sahabat, karena waktu itu jumlah mujtahid masih terbatas dan lingkungan domisili mereka relative masih berdekatan sehingga tidak sulit untuk berhubungan atau menyampaikan pendapatnya. Bila ijma’ ini terjadi, maka penunjuknya terhadap hokum adalah bersifat qath’y(tidak diragukan lagi kebenarannya)
b.      Ijma’ sukuti
Yaitu kesepakatan Ulama’ melalui cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatnya tentang hokum suatu masalah dalam masa tertentu, kemudian pendapat itu tersebar luas serta diketahui orang banyak dan ternyata tidak seorangpun diantara mujtahid lain yang mengemukakan pendapat berbeda atau yang menyanggah pendapat itu. Ijma’ ini pengaruhnya terhadap hokum bersifat zhanni.
c.       Kesepakatan dalam prinsip
Yaitu para mujtahid berbeda pendapat dan menghasilkan banyak pendapat yang berkembang,namun mereka sepakat dalam satu hal tertentu yang merupakan prinsip. Kesepakatan yang prinsip ini dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh mujtahid mengemukakan yang menyalahi pendapat orang banyak itu.[3]
Disamping pembagian ijma’ kepada tiga tingkatan tersebut, ada ulama’ yang membagi peringkat ijma’ itu dari segi penerimaan ulama’ kepada ijma’ tersebut,yaitu: ijma’ kaum muslimin, ijma’ para sahabat dan ijma’ ahlul ilmi dalam segala masa. ada juga yang membaginya kedalam dua macam : ijma’ qath’y dan dzanni. Dan menurut abdul karim zaidan, ijma’ terbagi dua, yaitu ijma’ sarih (tegas) dan ijma’ sukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian Ulama’).
  1. LANDASAN (SANAD) IJMA’
Ijma’ baru dapat diakui sebagai dalil atau landasan hokum bilamana dalam pembentukannya mempunyai landasan syara’ yang disebut sanad(landasan) ijma’.19 Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama’ :20
Ø  Hamper semua Ulama’ berpendapat bahwa ijma’ itu harus merujuk pada suatu sandaran yang kuat, bukan hanya berdasar taufiq dari Allah SWT.
Ø  Sebagian kecil ulama’ tidak mempersyaratkan adanya sandaran ijma’.
Ulama’ yang mempersyaratkan adanya sandaran bagi suatu ijma’ sepakat menjadikan nash Al-Qur’an dan sunnah sebagai sandaran ijma’. Namun dalam menempatkan qiyas atau ijtihad sebagai sandaran mereka berbeda pendapat :
Ø  Jumhur Ulama’ membolehkan qiyas dan ijtihad dijadikan sandaran ijma’ meskipun mereka berbeda pendapat mengenai kemungkinan hal seperti itu terlaksana dalam kenyataan.
Ø  Sebagian Ulama’ diantaranya ulama’ syi’ah, Daud al-Zahiri, Ibn jarir al-Thabari berpendapat tidak boleh menjadikan qiyas atau ijtihad sebagai sandaran ijma’.
Ø  Sebagian Ulama’ mengambil pendapat ditengah-tengah kedua pendapat diatas.
  1. FUNGSI IJMA’
Dalam pandangan ulama’ yang berpendapat bahwa untuk kekuatan suatu ijma’ tidak diperlukan sandaran atau rujukan kepada suatu dalil yang kuat, ijma’ berfungsi menetapkan hokum atas dasar taufiq Allah yang telah dianugerahkan kepada ulama’ yang melakukan ijma’ tersebut.
Dalam pandangan ulama’ yang mengharuskan adanya sandaran untuk suatu ijma’ dalam bentuk nash atau qiyas, maka ijma’ berfungsi untuk meningkatkan kualitas dalil yang dijadikan sandaran itu.
  1. NASAKH IJMA’21
Yaitu munculnya ijma’ ulama’ yang yang menyatakan bahwa keputusan ijma’ sebelumnya tidak berlaku lagi; atau muncul pendapat ulama’ secara perorangan; atau muncul ijma’ atas suatu hukum yang berbeda dengan apa yang sebelumnya disepakati ulama’ terdahulu. Memang pada dasarnya nasakh(pembatalan) itu tidak berlaku kecuali dalam hukum-hukum yang ditetapkan dengan nash,baik Al-Qur’an maupun Hadits, karena nasakh itu hanya berlaku semasa Nabi masih hidup dan tidak berlaku sesudahnya.
  1. MENGINGKARI HASIL IJMA’
Seseorang disebut mengingkari hasil ijma’ bila ia mengetahui adanya ijma’ ulama’ yang menetapkan hukum atas suatu kasus,namun ia secara sadar berbuat yang berbeda mengenai kasus itu dengan apa yang telah ditetapkan oleh ijma’. Pengingkaran hasil ijma’ dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut :
Ø  Ia secara prinsip tidak mengakui ijma’ sebagai dalil hukum karena memang tidak ada dalil sharih dengan dilalah qath’y tentang kehujjahan ijma’ yang diterima semua pihak.
Ø  Ia mengakui ijma’ sebagai hujjah syari’ah secara prinsip,namun ia menolak ijma’ tertentu karena menurutnya cara penukilannya tidak meyakinkan.
Ø  Ia menerima dan meyakini secara pasti bahwa ijma’ telah berlangsung,namun ia tidak mengindahkannya.
Khudhari bey berpendapat,ia mengutip pendapat imam haramain. Orang yang mengingkari prinsip ijma’ tidaklah kafir. Seseorang yang meyakini ijma’ sebagai salah satu hujjah syar’iyah dan mengakui kebenaran orang-orang yang melakukan ijma’ serta kebenaran penukilannya,kemudian ia dengan sadar mengingkari apa yang telah diputuskan secara ijma’,maka pengingkarannya itu berarti mendustakan kebenaran pembuat hukum(syar’i). Orang yang mendustakan hukum syar’i memang kafir. Pendapat yang kuat dalam hal ini adalah bahwa seseorang yang mengingkari “cara menetapkan hukum syara’” tidak kafir. Tetapi seseorang yang mengakui sesuatu sebagai hukum syara’, namun ia dengan sadar mengingkarinya, berarti ia mengingkari syara’,mengingkari sebagian dari hukum syara’. Berarti ia mengingkari hukum syara’ secara umum. Ini berarti ia telah keluar islam.  [5]
DAFTAR PUSTAKA
Ø  Syarifudin,amir.ushul fiqh jilid I.jakarta: logos wacana ilmu,1997.
Ø  Effendi,satria.ushul fiqh.jakarta: prenada media,2005.
Ø  Abdullah,sulaiman.sumber hukum islam(permasalahan dan fleksibilitasnya).jakarta: sinar grafika,2007.
Ø  Abdul wahab,syekh,khalaf.ilmu ushul fikih.jakarta: rineka cipta,1999.
Ø  Ash-shiddiqie,hasby.pengantar hukum islam.semarang: pustaka rizki putra,1997
Ø  Abdullah.Al-qur’an dan terjemahnya.kairo: mujamma’ al-malik fahd,1432H.



[1]. Amir Syarifudin,Ushul fiqh jilid I,jakarta : logos wacana ilmu,1997.hlm.112                                                                                            4. op.cit.hlm.350
2. abdullah bin abdul aziz,al-qur’an terjemahnya,kairo:mujamma’ al-malik fahd,1432H.hlm.317                                                               5. amir...hlm.115
3. sulaiman abdullah,sumber hukum islam(permasalahan dan fleksibilitasnya),jakarta: sinar grafika,2007.hlm.42
6. syekh abdul wahab khallaf,ilmu ushul fikih,jakarta:rineka cipta,1999.hlm.49                
7. amir...hlm.115                     8.sulaiman...hlm.43                 9.op.cit.hlm.49
10. amir....hlm.116                  11. sulaiman...hlm.43
12. amir...hlm. 116
13. abdul wahab...hlm.50
14. satria effendi,ushul fiqh,jakarta: prenada media,2005.hlm.126
15. al-qur’an dan terjemahnya...hlm.140
16op.cit.hlm.118-119
17. amir...hlm.135-138                                    18. hasby ash-shiddiqie,pengantar hukum islam,semarang: pustaka rizki putra,1997.hlm.189
19. satria effendi...hlm.127
20. amir...hlm.131-134
21. amir...hlm.139-143


Tidak ada komentar: