IJMA’ SEBAGAI DALIL HUKUM FIQIH
Oleh : Zainul
Khikam (2031110010)
- PENGERTIAN IJMA’
Secara
etimologi ijma’ mengandung dua arti :1
1.
Ijma’ dengan
arti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu.
Dapat dilihat dalam firman Allah surat yunus ayat 712
فاجمعوا امركم وشركائكم
Artinya : “...karena itu bulatkanlah keputusanmu dan
(kumpulkanlah) sekutu-sekutumu(untuk membinasakanku)....”.
Dan juga dalam hadits nabi
لا صيام لمن يجمع الصيام من الليل
Artinya : “ tidak ada puasa bagi orang yang tidak mengijma’kan puasa itu
dimalam hari”. Maksudnya tidak mencita-citakannya.
Oleh karena itu,maka ijma’ dinamakan ittifaq (kesepakatan) para
mujtahid.3
2.
Ijma’ dengan
arti sepakat, dapat dilihat dalam firman Allah surat yusuf ayat 154
فلما ذهبوا به واجمعوا ان يجعلوه في غيابة الجب
Artinya : “ maka tatkala mereka membawanya dan sepakat
memasukkannya kedasar sumur”.
Sedangkan arti ijma’ dalam istilah teknis hukum atau
istilah syara’ terdapat perbedaan. Akan tetapi saya langsung membahas
pengertian ini yaitu pendapat dari Abdul Wahab
Khallaf, yang juga dikutip oleh ulama’ lainnya yaitu
اتفاق جميع المجتهدين من المسلمين في عصر من العصور بعد
وفات الرسول علي حكم شرعي في واقعة من الوقائع
“
consensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul wafat atas suatu
hukum syara’ mengenai suatu kasus. “
Ijma’
itu berlaku dalam setiap masa oleh seluruh mujtahid yang ada pada masa itu, dan
bukan berarti kesepakatan mujtahid semua masa sampai hari kiamat.5[1]
Disebutkan secara jelas dalam definisi ini “hukum syara’”
mengandung arti bahwa kesepakatan itu hanya terbatas dalam masalah hokum
amaliah dan tidak menjangkau pada masalah aqidah. Dalam definisi ini juga
ditentukan kepada hokum yang terjadi, namun tidak tertutup kemungkinan
kesepakatan itu berlaku terhadap hokum yang masalahnya belum terjadi, baik
dalam bentuk hokum isbat atau hokum nafi.
- RUKUN IJMA’
Dikatakan dalam definisi bahwa
sepakat semua mujtahid muslim pada suatu masa terhadap hokum syar’i. dari
pengertian itu dapat diambil kesimpulan bahwa rukun ijma’ itu ada empat ;6
1.
Pada terjadinya peristiwa itu,
mujtahid itu jumlahnya lebih dari satu orang. Apabila pada saat itu tidak ada
mujtahid atau ada akan tetapi hanya satu orang. Maka ijma’ tidak dapat
terlaksana secara hokum.7 Ada yang
mengatakan sekurang-kurangnya jumlah mujtahid yang diperlukan untuk mewujudkan
ijma’ itu adalah tiga orang. Sebagian ulama’ mensyaratkan jumlah itu harus
mencapai batas tawatur sehingga aman terjadinya kesalahan.8
2.
Sepakat atas hokum syar’i tentang
suatu peristiwa, seluruh mujtahid muslimin itu pada waktu terjadinya itu
mengalihkan pandangan dari negerinya,atau bangsanya,atau golongannya.9 Kalau yang mencapai kesepakatan itu hanya sebagian
mujtahid, atau mujtahid kelompok tertentu,wilayah tertentu, atau bangsa
tertentu, maka kesepakatan itu tidak dapat disebut ijma’, karena ijma’ itu
hanya tercapai dalam kesepakatan menyeluruh.10
Dalam suatu buku bahkan disebutkan bahwa tidak diakui sebagai ijma’,
kesepakatan :11
a.
Suara terbanyak
b.
Kesepakatan mujtahid dua tanah haram
dari golongan salaf
c.
Kesepakatan Ulama’ salaf kota
Madinah saja
d.
Kesepakatan Ulama’ salaf yang
mujtahid dari dua kota Bashrah dan Kuffah, atau salah satunya saja
e.
Kesepakatan ahli bait Nabi saja
g.
Kesepakatan dua orang syekh : Abu
Bakar dan Umar karena adanya pendapat lain dari mujtahid lain, membuat
kesepakatan mereka itu tidak qath’y (diyakini) keabsahan dan kebenarannya.
3.
Mengeluarkan pendapat secara
terang-terangan atas hasil dari usaha ijtihadnya baik pendapatnya itu
dikemukakan dalam bentuk ucapan dengan mengemukakan fatwa tentang hokum
kejadian itu atau dalam bentuk perbuatan dengan memutuskan hokum dalam
pengadilan disaat kedudukannya sebagai hakim. Penyampaian pendapat itu mungkin
dalam bentuk perorangan yang kemudian ternyata hasilnya sama; atau secara
bersama-sama dalam satu majlis yang sesudah bertukar pikiran ternyata terdapat kesamaan
pendapat.12
4.
Menetapkan kesempatan dari semua
mujtahid terhadap suatu hokum. Kalau kebanyakan mereka itu sepakat tidak akan
mengadakan siding,dengan kesepakatan secara ijma’, hal ini boleh dijalankan.
Disini jumlah mujtahid itu kurang atau sebaliknya,jumlahnya itu banyak dan
menyetujui itu lebih banyak jumlahnya. Selamannya terdapat perbedaan pendapat.
Masing-masing pihak itu terdapat hal-hal yang mengandung kebenaran. Kebanyakan
yang tidak ada kesepakatan itu ialah hujjah syari’ah qath’y.13
- KEDUDUKAN IJMA’ SEBAGAI DALIL HUKUM
Para Ulama’ Ushul Fiqh mendasarkan
kesimpulan mereka bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan hokum
kepada berbagai argumentasi, antara lain14
Surat an-Nisa’ ayat 115 ;15
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدي ويتبع غير سبيل
المؤمنين نوله ما تولي ونصله جهنم وساءت مصيرا (النساء /4 : 115)
“ dan barangsiapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang yang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu, dan kami masukkan ia kedalam neraka jahannam, dan jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali”. ( QS. An-Nisa’/4:115)
Begitu juga didalam surat al-Baqarah
: 143, Ali Imran : 110 dan 103, al-Nisa’ : 5916
Hadits Rasulullah, Riwayat Abu Daud
dan Tirmidzy :
عن ابن عمر ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال ان الله
يجمع امتي او قال امة محمد صلي الله عليه وسلم علي ضلالة ( رواه الترمذي )
“ Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW
bersabda : “ sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku, atau beliau
berkata umat Muhammad SAW atas kesesatan. (HR at-Tirmidzi).
- PERINGKAT IJMA’17
Tingkatan kualitas ijma’ :
a.
Ijma’ sharih
Yaitu ijma’ yang terjadi setelah
semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan pendapatnya tentang hokum tertentu
secara jelas dan terbuka, baik melalui ucapan (hasil ijtihadnya diperluaskan
melalui fatwa), melalui tulisan atau dalam bentuk perbuatan (mujtahid yang
menjadi hakim memutuskan suatu perkara) dan ternyata seluruh pendapat mereka
menghasilkan hokum yang sama atas hokum tersebut.didalam buku disebutkan ijma’ sharih
juga disebut ijma’ qath’y atau ijma’ bayani atau ijma’ qauly.18 Ijma’ semacam ini jarang sekali terjadi. Sebagian ulama’
berpendapat bahwa ijma’ ini hanya mungkin terjadi pada masa sahabat, karena
waktu itu jumlah mujtahid masih terbatas dan lingkungan domisili mereka
relative masih berdekatan sehingga tidak sulit untuk berhubungan atau
menyampaikan pendapatnya. Bila ijma’ ini terjadi, maka penunjuknya terhadap
hokum adalah bersifat qath’y(tidak diragukan lagi kebenarannya)
b.
Ijma’ sukuti
Yaitu kesepakatan Ulama’ melalui
cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatnya tentang hokum suatu
masalah dalam masa tertentu, kemudian pendapat itu tersebar luas serta
diketahui orang banyak dan ternyata tidak seorangpun diantara mujtahid lain
yang mengemukakan pendapat berbeda atau yang menyanggah pendapat itu. Ijma’ ini
pengaruhnya terhadap hokum bersifat zhanni.
c.
Kesepakatan dalam prinsip
Yaitu para mujtahid berbeda pendapat
dan menghasilkan banyak pendapat yang berkembang,namun mereka sepakat dalam
satu hal tertentu yang merupakan prinsip. Kesepakatan yang prinsip ini dapat
dijadikan hujjah dan tidak boleh mujtahid mengemukakan yang menyalahi pendapat
orang banyak itu.[3]
Disamping
pembagian ijma’ kepada tiga tingkatan tersebut, ada ulama’ yang membagi
peringkat ijma’ itu dari segi penerimaan ulama’ kepada ijma’ tersebut,yaitu:
ijma’ kaum muslimin, ijma’ para sahabat dan ijma’ ahlul ilmi dalam segala masa.
ada juga yang membaginya kedalam dua macam : ijma’ qath’y dan dzanni. Dan
menurut abdul karim zaidan, ijma’ terbagi dua, yaitu ijma’ sarih (tegas) dan
ijma’ sukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian Ulama’).
- LANDASAN (SANAD) IJMA’
Ijma’ baru dapat diakui sebagai
dalil atau landasan hokum bilamana dalam pembentukannya mempunyai landasan
syara’ yang disebut sanad(landasan) ijma’.19 Dalam
hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama’ :20
Ø Hamper
semua Ulama’ berpendapat bahwa ijma’ itu harus merujuk pada suatu sandaran yang
kuat, bukan hanya berdasar taufiq dari Allah SWT.
Ø Sebagian
kecil ulama’ tidak mempersyaratkan adanya sandaran ijma’.
Ulama’ yang mempersyaratkan adanya
sandaran bagi suatu ijma’ sepakat menjadikan nash Al-Qur’an dan sunnah sebagai
sandaran ijma’. Namun dalam menempatkan qiyas atau ijtihad sebagai sandaran
mereka berbeda pendapat :
Ø Jumhur
Ulama’ membolehkan qiyas dan ijtihad dijadikan sandaran ijma’ meskipun mereka
berbeda pendapat mengenai kemungkinan hal seperti itu terlaksana dalam
kenyataan.
Ø Sebagian
Ulama’ diantaranya ulama’ syi’ah, Daud al-Zahiri, Ibn jarir al-Thabari
berpendapat tidak boleh menjadikan qiyas atau ijtihad sebagai sandaran ijma’.
Ø Sebagian
Ulama’ mengambil pendapat ditengah-tengah kedua pendapat diatas.
- FUNGSI IJMA’
Dalam pandangan ulama’ yang
berpendapat bahwa untuk kekuatan suatu ijma’ tidak diperlukan sandaran atau
rujukan kepada suatu dalil yang kuat, ijma’ berfungsi menetapkan hokum atas
dasar taufiq Allah yang telah dianugerahkan kepada ulama’ yang melakukan ijma’
tersebut.
Dalam
pandangan ulama’ yang mengharuskan adanya sandaran untuk suatu ijma’ dalam
bentuk nash atau qiyas, maka ijma’ berfungsi untuk meningkatkan kualitas dalil
yang dijadikan sandaran itu.
- NASAKH IJMA’21
Yaitu munculnya
ijma’ ulama’ yang yang menyatakan bahwa keputusan ijma’ sebelumnya tidak
berlaku lagi; atau muncul pendapat ulama’ secara perorangan; atau muncul ijma’
atas suatu hukum yang berbeda dengan apa yang sebelumnya disepakati ulama’
terdahulu. Memang pada dasarnya nasakh(pembatalan) itu tidak berlaku kecuali
dalam hukum-hukum yang ditetapkan dengan nash,baik Al-Qur’an maupun Hadits,
karena nasakh itu hanya berlaku semasa Nabi masih hidup dan tidak berlaku
sesudahnya.
- MENGINGKARI HASIL IJMA’
Seseorang
disebut mengingkari hasil ijma’ bila ia mengetahui adanya ijma’ ulama’ yang
menetapkan hukum atas suatu kasus,namun ia secara sadar berbuat yang berbeda
mengenai kasus itu dengan apa yang telah ditetapkan oleh ijma’. Pengingkaran
hasil ijma’ dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut :
Ø Ia secara
prinsip tidak mengakui ijma’ sebagai dalil hukum karena memang tidak ada dalil
sharih dengan dilalah qath’y tentang kehujjahan ijma’ yang diterima semua
pihak.
Ø Ia mengakui
ijma’ sebagai hujjah syari’ah secara prinsip,namun ia menolak ijma’ tertentu
karena menurutnya cara penukilannya tidak meyakinkan.
Ø Ia menerima dan
meyakini secara pasti bahwa ijma’ telah berlangsung,namun ia tidak
mengindahkannya.
Khudhari bey berpendapat,ia mengutip pendapat imam
haramain. Orang yang mengingkari prinsip ijma’ tidaklah kafir. Seseorang yang
meyakini ijma’ sebagai salah satu hujjah syar’iyah dan mengakui kebenaran
orang-orang yang melakukan ijma’ serta kebenaran penukilannya,kemudian ia
dengan sadar mengingkari apa yang telah diputuskan secara ijma’,maka pengingkarannya
itu berarti mendustakan kebenaran pembuat hukum(syar’i). Orang yang mendustakan
hukum syar’i memang kafir. Pendapat yang kuat dalam hal ini adalah bahwa
seseorang yang mengingkari “cara menetapkan hukum syara’” tidak kafir. Tetapi
seseorang yang mengakui sesuatu sebagai hukum syara’, namun ia dengan sadar
mengingkarinya, berarti ia mengingkari syara’,mengingkari sebagian dari hukum
syara’. Berarti ia mengingkari hukum syara’ secara umum. Ini berarti ia telah
keluar islam. [5]
DAFTAR PUSTAKA
Ø Syarifudin,amir.ushul
fiqh jilid I.jakarta: logos wacana ilmu,1997.
Ø Effendi,satria.ushul
fiqh.jakarta: prenada media,2005.
Ø Abdullah,sulaiman.sumber
hukum islam(permasalahan dan fleksibilitasnya).jakarta: sinar grafika,2007.
Ø Abdul
wahab,syekh,khalaf.ilmu ushul fikih.jakarta: rineka cipta,1999.
Ø Ash-shiddiqie,hasby.pengantar
hukum islam.semarang: pustaka rizki putra,1997
2. abdullah bin
abdul aziz,al-qur’an terjemahnya,kairo:mujamma’ al-malik
fahd,1432H.hlm.317
5. amir...hlm.115
3. sulaiman abdullah,sumber
hukum islam(permasalahan dan fleksibilitasnya),jakarta: sinar
grafika,2007.hlm.42
7.
amir...hlm.115
8.sulaiman...hlm.43
9.op.cit.hlm.49
10.
amir....hlm.116
11. sulaiman...hlm.43
12. amir...hlm.
116
13. abdul
wahab...hlm.50
14. satria
effendi,ushul fiqh,jakarta: prenada media,2005.hlm.126
15. al-qur’an
dan terjemahnya...hlm.140
16op.cit.hlm.118-119
17.
amir...hlm.135-138
18. hasby ash-shiddiqie,pengantar hukum islam,semarang: pustaka rizki
putra,1997.hlm.189
20.
amir...hlm.131-134
Tidak ada komentar:
Posting Komentar