SUNANTO 2031110004
ZAINUL KHIKAM 2031110010
INAYATUL MAULA 2031110015
PENADAHULUAN
Berbagai
kepercayaan dan peribadatan agama sudah menjadi ciri universal masyarakat
manusia. Namun manusia tidak hanya berdo’a, menyembah (Tuhan) dan berkorban,
mereka juga memikirkan secara mendalam peribadatan-peribadatan mereka sendiri,
dan dengan demikian berkembanglah kajian-kajian yang kita sebut teologi,
filsafat agama dan perbandingan agama. Dalam masa seratus tahun terakhir ini
sosiologi tampil sebagai pendatang baru dalam dunia ilmiah. Disini muncul
berbagai pertanyaan terkait apakah yang baru mengenai tuntunan ini, dan
bagaimanakah pemikiran ahli sosiolog bila dikaitkan dengan pemikiran para filosof
agama atau bahkan teologi, atau dengan para pengkaji perbandingan agama.[1]
inilah
perlunya kita mengkaji disiplin ilmu sosiologi, terlepas dari menjawab
pertanyaan-pertanyaan tadi dan juga pembahasan yang amat panjang. Makalah ini
akan mencoba membahas salah satu dari teori yang dihasilkan dari disiplin ilmu
sosiologi. Agama sebagimana dikatakan oleh ahli sosiolog merupakan suatu pandangan hidup yang
harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai
hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua faktor yang
ikut membentuk struktur sosial di masyarakat mana pun.
Sedang diposisi lain manusia yang hidup secara berkelompok akan banyak sekali
permasalahan-permasalahan ataupun gejala-gejala sosial yang timbul dalam
keseharianya. Salah satunya ialah munculnya sesuatu yang dihargainya, selama
manusia masih mempunyai sesuatu yang dihargainya dan sesutu yang dihargainya
tersebut mutlak dimiliki oleh masyarakt, maka sistem pelapisan masyarakat akan
muncul. Inilah salah satu bibit dimana munculnya stratifikasi sosial dimasyarakat.[2]
Lebih
lanjut, dijelaskan sistem berlapis-lapis dalam suatu masyarakat, dalam
sosiologi dikenal dengan istilah social
stratisfication (stratifikasi sosial). Kata stratisfication berasal dari stratum
(jamaknya: strata yang berarti lapisan). Mengenai istilah ini, Soekanto
mengutip Pitirim A. Sorokin dalam menjelaskan definisinya. Di mana disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan social
stratisfication adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat (secara hirarkis).[3]
Inilah
yang akan coba kita angkat pada pembahasan kali ini disamping tetap
mempertimbangkan prosedur pembuatan makalah yang telah ditetapkan oleh dosen
pengampu, kiranya pembahasan ini juga menarik untuk dikaji karena dalam
realitanya kita juga sering menemukan hal-hal senacam ini. Lebih jelasnya akan
kami bahas secara global pada tulisan selanjutnya. Selamat membaca.
PEMBAHASAN
AGAMA
DAN STRATIFIKASI SOSIAL
- Agama dalam kajian sosiologis
Dalam kajian sosiologis agama
diartikan sebagai gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat
yang ada di dunia ini, tanpa terkecuali. Ia merupakan salah satu aspek dalam
kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat. Agama juga
bisa dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat disamping
unsur-unsur lainnya. Meskipun agama berkaitan dengan berbagai kewajiban,
ketundukan, dan kepatuhan, tetapi tidak setiap ketaatan itu bisa disebut agama,
bergantung pada siapa ketaatan itu diperuntukkan dan atas dasar motivasi apa
ketaatan itu dilaksanakan. Ketaatan dan kepatuhan pihak yang kalah perang
kepada pihak yang menang perang, ketaatan rakyat terhadap pemimpinnya tidak
bisa disebut agama dalam kacamata keilmuan. Berdasarkan hasil studi para ahli
sosisologi, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang
harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai
hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua faktor yang
ikut membentuk struktur sosial di masyarakat mana pun.
Berikut merupakan pendapat para
tokoh mengenai agama yang otomatis apa yang mereka katakan tidak terlepas pada
keyakinan mereka mengenai agamanya masing-masing:
- Max Weber, salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat.[4]
- Cicero (abad 15 SM) dia adalah seorang pembuat hukum romawi, menurutnya agama adalah anutan yang dihubungkan antara manusia dengan tuhan.
- Emmanuel Kant, dalam bukunya yang berjudul agama dalam batas-batas akal mengatakan bahwa agama adalah perasaan berkewajiban melaksanakan perintah-perintah tuhan.
- Herbert Spencer, berpendapat bahwa factor utama dalam agama adalah iman akan adanya kekuasaan yang tak terbatas, atau kekuasaan yang tidak bisa digambarkan batas waktu dan tempatnya.[5]
- Agama dan Stratifikasi Sosial
- Diskursus Stratifikasi Sosial
Stratifikasi
atau lapisan masyarakat ialah jumlah orang-orang yang statusnya sama menurut
penilaian sosial (masyarakat). Lapisan masyarakat ini biasanya digambarkan
dengan kerucut (piramide), disitu akan tampak, bahwa semakin tinggi
lapisan masyarakat, akan semakin sedikit jumlahnya, begitu pula sebaliknya.[6]
Pada
prinsipnya kelas adalah penggolongan manusia yang tidak terang batas-batasnya
dan hanya memperlihatkan sifat golongan. Sebenarnya apabila diperiksa
sungguh-sungguh, maka ternyata banyak sekali kelas dan gaya hidup yang terdapat
dalam masyarakat.[7]
Menurut
kingsley davis dan willert E. Moore bahwa stratifikasi dan hubunganya dengan
penghargaan pelaksanaan fungsi-fungsi dalam masyarakat. Bukan fungsi yang
menentukan kedudukan, tetapi kedudukan menentukan fungsi seseorang.
Stratifikasi ini terjadi disegala macam masyarakat. Bahkan orang yang masih
sederhanapun terjadi setratifikasi, hanya jarak tingkatan yang satu dengan yang
lain tidak begitu tampak, misalnya pada masyaraat primitif dukun, kyai dan
sebagainya.[8]
Menurut
Soerjono Soekanto di dalam setiap masyarakat dimanapun selalu dan pasti
mempunyai sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dihargai di masyarakat bisa
berupa kekayaan, ilmu pengetahuan, status haji, status “darah biru” atau
keturunan dari keluarga tertentu yang terhormat, diberbagai masyarakat sesuatu
yang dihargai tidakah sama. Sebagian pakar meyakini bahwa pelapisan masyarakat
sesungguhnya mulai ada sejak masyarakat mengenal kehidupan bersama, dalam
masyarakat yang masih sederhana lapisan-lapisan masyarakat pada awalnya
didasarkan pada perbedaan seks, umur atau bahkan kekuasaan.
Pitirim
A. Sorokin mengemukakan stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau
masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat atau hierarkis, perwujudannya
adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas rendah, selanjutnya disebutkan bahwa
dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah adanya
ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung
jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. [9]
- Faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya stratifikasi dan status sosial
Selo Soemardjan (1964), seorang tokoh
sosiologi Indonesia, menyatakan bahwa hal yang mewujudkan unsur-unsur dalam
teorisosiologi tentang sistem berlapis lapis dalam masyarakat, adalah kedudukan
(status) dan peranan (role) ; kedudukan dan peranan ini kecuali
merupakan unsur-unsur baku dalam sistem berlapis-lapis, juga mempunyai arti
yang penting bagi sistem sosial masyarakat; Ralph Linton (1967) mengartikan
sistem sosial itu sebagai pola-pola yang mengatur hubungan timbal balik antar
individu dalam masyarakat dan antar individu dengan masyarakatnya, dan tingkah
laku individu-individu tersebut. Dalam hubungan-hubungan timbal balik tersebut,
kedudukan dan peranan individu mempunyai arti yang penting, karena
keberlangsungan hidup masyarakat tergantung daripada keseimbangan kepentingan
kepentingan individu –individu termaksud. Untuk mendapatkan gambaran yang
mendalam tentang kedudukan dan peranan ini akan dibicarakan tersendiri di bawah
ini.[10]
a) Kedudukan
(status)
Status adalah kedudukan sosial seseorang
dalam kelompoknya (masyarakat). Status seseorang biasanya mempunyai dua aspek
yaitu :
1) Aspek
struktural, ialah status yang ditunjukkan oleh adanya atau susunan lapisan
sosial dari atas kebawah. Aspek ini sifatnya lebih stabil dibandingkan dengan
fungsional.
2) Aspek
fungsional, disebut juga peranan sosial yang terdiri dari kewajiban atau
keharusan yang harus dilakukan seseorang karena kedudukannya didalam status
tertentu.
Dalam
masyarakat, sekurangnya ada tiga macam kedudukan, yaitu :
- Ascribed status, yaitu kedudukan seseorang yang akan didapat dengan sendirinya. Misalnya golongan berdasar jenis kelamin, tingkat umur dan sebagainya. Atau dengan kata lain : seseorang dapat mencapai status secara ascrib, karena ia dilahirkan dalam golongan tertentu, misalnya seorang anak raja.
- Achievel status, yaitu kedudukan seseorang yang didapat dengan cara berusaha atau berjuang, mislanya sebagai pemimpin parpol, guru, dosen dan lain sebagainya. Boleh juga misalnya seorang buruh berjuang menjadi majikan, guru SD berjuang menjadi profesor dan sebagainya[11]
- Assigned Status, yaitu kedudukan yang diberikan karena alasan-alasan tertentu; dalam arti bahwa suatu kelompok, golongan, atau masyarakat memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang dianggap berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Akan tetapi kadang-kadang kedudukan tersebut diberikan, karena seseorang telah lama menduduki suatu jabatan tertentu, seperti di pedesaan ada istilah ‘lurah hormat’ adalah satu gelar yang diberikan kepada seorang mantan pemuka desa yang dianggap sangat berjasa atas kemajuan desanya. Kedudukan yang diberikan ini diwujudkan dalam bentuk penghormatan gelar tertentu seperti ‘datuk’ pada masyarakat Sumatera Barat, ‘sir’ pada masyarakat Inggris, atau ‘andi’ pada masyarakat Makasar; Individu-individu yang mendapatkan kedudukan ini tidak dibebankan atas kewajiban-kewajiban menurut kedudukannya, namun mereka sedikitnya mendapakan fasilitas-fasilitas khusus yang tidak diberikan pada orang kebanyakan, di samping itu kedudukan ini tidak terbatas diberikan kepada anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan, tetapi bisa juga kepada orang luar masyarakat tersebut.[12]
b) Peranan (role)
Peranan
(role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan, dimana apabila seseorang
melaksanakan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya
maka orang itu telah menjalankan suatu peran. Peranan dan kedudukan itu saling
melengkapi, kedua-duanya tidak dapat dipisahkan, oleh karena yang satu tergantung
pada yang lain dan demikian sebaliknya. Yang membedakan dari keduanya adalah
menyangkut proses, harus ada kedudukan terlebih dahulu baru kemudian ada
peranan, keadaan ini tidak bisa terbalik.[13]
Status
seseorang individu dalam masyarakat dapat dilihat dari dua aspek, yakni
1)
Aspek statis, yaitu
kedudukan dan derajat seseorang didalam suatu kelompok yang dapat dibedakan
dengan derajat atau kedudukan individu lainya. Seperti petani dapat dibedakan
dengan nelayan, PNS dengan pedagang dan lain sebagainya.
2)
Aspek Dinamis, yaitu
berhubungan erat dengan peranan sosial tertentu yang berhubungan dengan
pengertian jabatan, fungsi dan tingkah laku yang formal serta jasa yang
diharapkan dari fungsi dan jabatan tersebut. Contoh : direktur perusahaan,
pimpinan sekolah, dan lain sebagainya.[14]
Untuk menjalankan peranannya (role) seorang individu memerlukan
fasilitas-fasilitas, disebut: Role Facilities. Peranan yang lebih dari
satu bisa menimbulkan: Conflict of Role. Misal : mahasiswa yang
kuliah sambil kerja. Pada kondisi tertentu terjadi pemisahan antara seorang
Individu dengan Peranan yang dilakukan: Role Distance Misal : pada
kondisi capek, tegang, Kinerja : akan turun
- Sifat stratifikasi sosial
a) Stratifikasi terbuka
Anggota kelompok yang satu ada
kemungkinan besar untuk berpindah ke kelompok yang lain, artinya dapat menurun
ke kelompok yang lebih rendah atau sebaliknya. Contoh, kedudukan presiden dan
menteri. Anak-anak presiden dan menteri belum tentu dapat mencapai kedudukan
sebagai presiden atau menteri. Tetapi sebaliknya warga masyarakat pada umumnya
ada kemungkinan dapat memiliki kedudukan seperti tersebut diatas.
b) Stratifikasi tertutup
Kemungkinan pindah seseorang anggota
kelompok dari golongan yang satu ke golongan yang lain kemungkinya sanagat
kecil sekali, sebab biasanya sistem ini didasarkan atas keturunan. Jadi
misalnya anak habaib jadi penerusnya. Dengan sendirinya akan tetap menjadi
golongan habaib dan sebaliknya golongan masyarakat biasa.
Ditinjau dari segi psikologis kedua
kelompok ini mempunyai kebaikan dan keburukan masing-masing. Stratifikasi
terbuka itu lebih dinamis (progresif) dan anggota-anggota mempunyai cita-cita
hidup yang lebih tinggi. Sedang stratifikasi tertutup bersifat statis,
lebih-lebih golongan bawah dan kurang menunjukkan cita-cita yang tinggi. Adapun
kelemahan stratifikasi terbuka ialah bahwa anggota-anggotanya mengalami
kehiduapan yang selalu tegang dan khawatir. Sehingga akibatnya lebih banyak
menaglami ketegangan dan konflik-konflik jiwa lebih besar daripada kelompok
tertutup.
Maka dari itu orangtua pasti selalu
berusaha supaya penghidupan dan kehidupan anak-anaknya masuk dalam tingkat
golongannya, jika perlu bahkan diatasnya. Sebab jika tidak demikian penghidupan
dan kehidupan mereka pasti akan turun dan akhirnya turun pulalah status dan peranan
mereka.[15]
- Penentuan Strata[16]
Dari apa yang sudah diuraikan diatas,
akhirnya kita dapat menentukan dan menyebutkan ukuran atau kriteria yang
biasanya dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat kedalam lapisan-lapisan
sosial ialah sebagai berikut ;
a)
Ukuran kekayaan
: ukuran kekayaan (kebendaan) dapat dijadikan sebagai ukuran : barangsiapa yang
mempunyai kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan sosial teratas.
Kenyataan tersebut misalnya berupa mobil pribadinya, cara-cara mempergunakan
pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk belanja barang
mahal dan sebagainya.
b)
Ukuran kekuasaan
: barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau mempunyai wewenang terbesar,
menepati lapisan sosial teratas.
c)
Ukuran
kehormatan : ukuran kehormatan mungkin terlepas dari ukuran-ukuran diatas
tersebut, orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat atau menduduki
lapisan sosial teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat
tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua ataumereka yang bpernah
berjasa besar kepada masyarakat.
d)
Ukuran ilmu
pengetahuan : ilmu pengetahuan dipakai ukuran oleh masyarakat yang menghargai
ilmu pengetahuan. Ukuran ini kadang-kadang menjadi negatif; karena ternyata
bahwa bukan ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar
sarjananya. Sudah tentu hal ini mengakibatkan segala macam usaha untuk
mendapatkan gelar tersebut walaupun secara tidak halal.
KESIMPULAN
Berikut
kesimpulan yang kami sampaikan, bahwasanya mengingat kembali dari signifikansi
disiplin ilmu sosiologi agama itu sendiri. Setidaknya dengan pemaparan
pembahasan mengenai stratifikasi sosial ini juga dapat membantu kita untuk
menambah wacana akademis terkait dengan Living Qur’an maupun Sunnah yang pada
khususnya melihat beragam sekali budaya masyarkat Indonesia yang masih perlu
untuk diungkap khususnya dalam perspektif al-Qur’an maupun hadits. Sampai
disini ada hal yang perlu kami sampaikan terkait dengan pembahasan ini bahwa
stratifikasi sosial itu timbul dari hasil budaya masyarakat sendiri yang mana
disitu ada yang muncul karena faktor kebutuhan atau memang seharusnya
diperjuangkan dan bahkan ada faktor yang memaksa untuk menyikapi dan menerima
hal tersebut. Demikian kiranya yang dapat kami sampaiakan, kurang lebihnya
mohon maaf dan mohon maaf maklum adanya jika banyak kekhilafan, dan ucapan
terimakasih kami sampaikan kepada bapak dosen maupun teman-teman mahasiswa yang
sudah berkenan dan mau membaca serta mengkritisi makalah ini.
Wallahu
a’lam bis-showab
DAFTAR
PUSTAKA
ü Scharf
,Betty R. , The Sociological Study Of Religion, ter. Husain Macnun, Yogyakarta
: PT Tiara Wacana, 1995.
ü Soekanto, Soerjono,
Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta:
Rajawali Pers, 1987.
ü Hartomo
dan arnicun aziz, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008.
ü Noor
, M. Arifin,Ilmu Sosial Dasar,Bandung : CV Pustaka Setia,1999.
ü Moeis,
Syarif,struktur sosial : startifikasi sosial, Bandung Jurusan Pendidikan
Sejarah FPIPS UPI Bandung,2008.
ü Sumber : http://nuryandi-cakrawalailmupengetahuan.blogspot.com/2012/07/pemikiran-max-weber-tentang-agama.html#ixzz2NfyvvRg7.
Akses hari sabtu, 16 maret 2013. Jam 12.06 WIB
ü Sumber
: http://fenyzami.blogspot.com/2011/12/hubungan-agama-dengan-harmoni-dan.html.
Akses hari
sabtu, 16 maret 2013. Jam 12.06 WIB
[1] Betty R. Scharf, The
Sociological Study Of Religion, ter. Husain Macnun, Yogyakarta : PT Tiara
Wacana, 1995. Hlm. 1
[3] Ibid. Hlm. 204
[4] Sumber : http://nuryandi-cakrawalailmupengetahuan.blogspot.com/2012/07/pemikiran-max-weber-tentang-agama.html#ixzz2NfyvvRg7.
Akses hari sabtu, 16 maret 2013. Jam 12.06 WIB
[5] Sumber : http://fenyzami.blogspot.com/2011/12/hubungan-agama-dengan-harmoni-dan.html.
Akses hari
sabtu, 16 maret 2013. Jam 12.06 WIB
[6] Hartomo dan arnicun aziz, Ilmu
Sosial Dasar, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008. Hlm. 200.
[7] Ibid. Hlm. 201.
[8] Sebagaimana dikutip oleh hartomo
dan arnicus aziz dalam bukunya Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : PT Bumi
Aksara, 2008. Hlm. 201. Pandangan kingsley
davis dan willert E. Moore tentang fungsi stratifikasi sosial dapat dilihat juga dalam M. Arifin Noor,Ilmu Sosial Dasar,Bandung
: CV Pustaka Setia,1999. Hlm. 161
[10] Sebagaimana dikutip dalam makalah berbentuk file pdf oleh Syarif Moeis judul struktur sosial :
startifikasi sosial, Bandung Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI
Bandung,2008. Hlm. 10
[11] Op.cit. Hlm. 199-200. Bandingkan
dengan ibid. Hlm. 11-12 yang membaginya
menjadi tiga yaitu ascribed status, achievel status dan assigned status.
[12] Syarif Moeis,hlm. 12
[13] Ibid. Hlm. 13-14
[14] Hartomo dan arnicun aziz,, hlm.
155
[15] Op.cit. hlm. 202-203
[16] Ibid. Hlm. 203-204
Tidak ada komentar:
Posting Komentar