Minggu, 21 April 2013

AGAMA DAN STRATIFIKASI SOSIAL




SUNANTO                             2031110004
ZAINUL KHIKAM               2031110010
INAYATUL MAULA            2031110015
 


PENADAHULUAN
Berbagai kepercayaan dan peribadatan agama sudah menjadi ciri universal masyarakat manusia. Namun manusia tidak hanya berdo’a, menyembah (Tuhan) dan berkorban, mereka juga memikirkan secara mendalam peribadatan-peribadatan mereka sendiri, dan dengan demikian berkembanglah kajian-kajian yang kita sebut teologi, filsafat agama dan perbandingan agama. Dalam masa seratus tahun terakhir ini sosiologi tampil sebagai pendatang baru dalam dunia ilmiah. Disini muncul berbagai pertanyaan terkait apakah yang baru mengenai tuntunan ini, dan bagaimanakah pemikiran ahli sosiolog bila dikaitkan dengan pemikiran para filosof agama atau bahkan teologi, atau dengan para pengkaji perbandingan agama.[1]
inilah perlunya kita mengkaji disiplin ilmu sosiologi, terlepas dari menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi dan juga pembahasan yang amat panjang. Makalah ini akan mencoba membahas salah satu dari teori yang dihasilkan dari disiplin ilmu sosiologi. Agama sebagimana dikatakan oleh ahli sosiolog merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua faktor yang ikut membentuk struktur sosial di masyarakat mana pun. Sedang diposisi lain manusia yang hidup secara berkelompok akan banyak sekali permasalahan-permasalahan ataupun gejala-gejala sosial yang timbul dalam keseharianya. Salah satunya ialah munculnya sesuatu yang dihargainya, selama manusia masih mempunyai sesuatu yang dihargainya dan sesutu yang dihargainya tersebut mutlak dimiliki oleh masyarakt, maka sistem pelapisan masyarakat akan muncul. Inilah salah satu bibit dimana munculnya stratifikasi sosial dimasyarakat.[2]
Lebih lanjut, dijelaskan sistem berlapis-lapis dalam suatu masyarakat, dalam sosiologi dikenal dengan istilah social stratisfication (stratifikasi sosial). Kata stratisfication berasal dari stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan). Mengenai istilah ini, Soekanto mengutip Pitirim A. Sorokin dalam menjelaskan definisinya. Di mana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan social stratisfication adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hirarkis).[3]
Inilah yang akan coba kita angkat pada pembahasan kali ini disamping tetap mempertimbangkan prosedur pembuatan makalah yang telah ditetapkan oleh dosen pengampu, kiranya pembahasan ini juga menarik untuk dikaji karena dalam realitanya kita juga sering menemukan hal-hal senacam ini. Lebih jelasnya akan kami bahas secara global pada tulisan selanjutnya. Selamat membaca.

PEMBAHASAN
AGAMA DAN STRATIFIKASI SOSIAL
  1. Agama dalam kajian sosiologis
Dalam kajian sosiologis agama diartikan sebagai gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini, tanpa terkecuali. Ia merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat. Agama juga bisa dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat disamping unsur-unsur lainnya. Meskipun agama berkaitan dengan berbagai kewajiban, ketundukan, dan kepatuhan, tetapi tidak setiap ketaatan itu bisa disebut agama, bergantung pada siapa ketaatan itu diperuntukkan dan atas dasar motivasi apa ketaatan itu dilaksanakan. Ketaatan dan kepatuhan pihak yang kalah perang kepada pihak yang menang perang, ketaatan rakyat terhadap pemimpinnya tidak bisa disebut agama dalam kacamata keilmuan. Berdasarkan hasil studi para ahli sosisologi, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua faktor yang ikut membentuk struktur sosial di masyarakat mana pun.
Berikut merupakan pendapat para tokoh mengenai agama yang otomatis apa yang mereka katakan tidak terlepas pada keyakinan mereka mengenai agamanya masing-masing:
  1. Max Weber, salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat.[4]
  2. Cicero (abad 15 SM) dia adalah seorang pembuat hukum romawi, menurutnya agama adalah anutan yang dihubungkan antara manusia dengan tuhan.
  3. Emmanuel Kant, dalam bukunya yang berjudul agama dalam batas-batas akal mengatakan bahwa agama adalah perasaan berkewajiban melaksanakan perintah-perintah tuhan.
  4. Herbert Spencer, berpendapat bahwa factor utama dalam agama adalah iman akan adanya kekuasaan yang tak terbatas, atau kekuasaan yang tidak bisa digambarkan batas waktu dan tempatnya.[5]
  1. Agama dan Stratifikasi Sosial
  1. Diskursus Stratifikasi Sosial
Stratifikasi atau lapisan masyarakat ialah jumlah orang-orang yang statusnya sama menurut penilaian sosial (masyarakat). Lapisan masyarakat ini biasanya digambarkan dengan kerucut (piramide), disitu akan tampak, bahwa semakin tinggi lapisan masyarakat, akan semakin sedikit jumlahnya, begitu pula sebaliknya.[6]
Pada prinsipnya kelas adalah penggolongan manusia yang tidak terang batas-batasnya dan hanya memperlihatkan sifat golongan. Sebenarnya apabila diperiksa sungguh-sungguh, maka ternyata banyak sekali kelas dan gaya hidup yang terdapat dalam masyarakat.[7]
Menurut kingsley davis dan willert E. Moore bahwa stratifikasi dan hubunganya dengan penghargaan pelaksanaan fungsi-fungsi dalam masyarakat. Bukan fungsi yang menentukan kedudukan, tetapi kedudukan menentukan fungsi seseorang. Stratifikasi ini terjadi disegala macam masyarakat. Bahkan orang yang masih sederhanapun terjadi setratifikasi, hanya jarak tingkatan yang satu dengan yang lain tidak begitu tampak, misalnya pada masyaraat primitif dukun, kyai dan sebagainya.[8]
Menurut Soerjono Soekanto di dalam setiap masyarakat dimanapun selalu dan pasti mempunyai sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dihargai di masyarakat bisa berupa kekayaan, ilmu pengetahuan, status haji, status “darah biru” atau keturunan dari keluarga tertentu yang terhormat, diberbagai masyarakat sesuatu yang dihargai tidakah sama. Sebagian pakar meyakini bahwa pelapisan masyarakat sesungguhnya mulai ada sejak masyarakat mengenal kehidupan bersama, dalam masyarakat yang masih sederhana lapisan-lapisan masyarakat pada awalnya didasarkan pada perbedaan seks, umur atau bahkan kekuasaan.
Pitirim A. Sorokin mengemukakan stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat atau hierarkis, perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas rendah, selanjutnya disebutkan bahwa dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. [9]
  1. Faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya stratifikasi dan status sosial
Selo Soemardjan (1964), seorang tokoh sosiologi Indonesia, menyatakan bahwa hal yang mewujudkan unsur-unsur dalam teorisosiologi tentang sistem berlapis lapis dalam masyarakat, adalah kedudukan (status) dan peranan (role) ; kedudukan dan peranan ini kecuali merupakan unsur-unsur baku dalam sistem berlapis-lapis, juga mempunyai arti yang penting bagi sistem sosial masyarakat; Ralph Linton (1967) mengartikan sistem sosial itu sebagai pola-pola yang mengatur hubungan timbal balik antar individu dalam masyarakat dan antar individu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku individu-individu tersebut. Dalam hubungan-hubungan timbal balik tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti yang penting, karena keberlangsungan hidup masyarakat tergantung daripada keseimbangan kepentingan kepentingan individu –individu termaksud. Untuk mendapatkan gambaran yang mendalam tentang kedudukan dan peranan ini akan dibicarakan tersendiri di bawah ini.[10]
a)      Kedudukan (status)
Status adalah kedudukan sosial seseorang dalam kelompoknya (masyarakat). Status seseorang biasanya mempunyai dua aspek yaitu :
1)      Aspek struktural, ialah status yang ditunjukkan oleh adanya atau susunan lapisan sosial dari atas kebawah. Aspek ini sifatnya lebih stabil dibandingkan dengan fungsional.
2)      Aspek fungsional, disebut juga peranan sosial yang terdiri dari kewajiban atau keharusan yang harus dilakukan seseorang karena kedudukannya didalam status tertentu.
Dalam masyarakat, sekurangnya ada tiga macam kedudukan, yaitu :
  1. Ascribed status, yaitu kedudukan seseorang yang akan didapat dengan sendirinya. Misalnya golongan berdasar jenis kelamin, tingkat umur dan sebagainya. Atau dengan kata lain : seseorang dapat mencapai status secara ascrib, karena ia dilahirkan dalam golongan tertentu, misalnya seorang anak raja.
  2. Achievel status, yaitu kedudukan seseorang yang didapat dengan cara berusaha atau berjuang, mislanya sebagai pemimpin parpol, guru, dosen dan lain sebagainya. Boleh juga misalnya seorang buruh berjuang menjadi majikan, guru SD berjuang menjadi profesor dan sebagainya[11]
  3. Assigned Status, yaitu kedudukan yang diberikan karena alasan-alasan tertentu; dalam arti bahwa suatu kelompok, golongan, atau masyarakat memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang dianggap berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Akan tetapi kadang-kadang kedudukan tersebut diberikan, karena seseorang telah lama menduduki suatu jabatan tertentu, seperti di pedesaan ada istilah ‘lurah hormat’ adalah satu gelar yang diberikan kepada seorang mantan pemuka desa yang dianggap sangat berjasa atas kemajuan desanya. Kedudukan yang diberikan ini diwujudkan dalam bentuk penghormatan gelar tertentu seperti ‘datuk’ pada masyarakat Sumatera Barat, ‘sir’ pada masyarakat Inggris, atau ‘andi’ pada masyarakat Makasar; Individu-individu yang mendapatkan kedudukan ini tidak dibebankan atas kewajiban-kewajiban menurut kedudukannya, namun mereka sedikitnya mendapakan fasilitas-fasilitas khusus yang tidak diberikan pada orang kebanyakan, di samping itu kedudukan ini tidak terbatas diberikan kepada anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan, tetapi bisa juga kepada orang luar masyarakat tersebut.[12]

b)     Peranan (role)
Peranan (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan, dimana apabila seseorang melaksanakan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka orang itu telah menjalankan suatu peran. Peranan dan kedudukan itu saling melengkapi, kedua-duanya tidak dapat dipisahkan, oleh karena yang satu tergantung pada yang lain dan demikian sebaliknya. Yang membedakan dari keduanya adalah menyangkut proses, harus ada kedudukan terlebih dahulu baru kemudian ada peranan, keadaan ini tidak bisa terbalik.[13]
Status seseorang individu dalam masyarakat dapat dilihat dari dua aspek, yakni
1)      Aspek statis, yaitu kedudukan dan derajat seseorang didalam suatu kelompok yang dapat dibedakan dengan derajat atau kedudukan individu lainya. Seperti petani dapat dibedakan dengan nelayan, PNS dengan pedagang dan lain sebagainya.
2)      Aspek Dinamis, yaitu berhubungan erat dengan peranan sosial tertentu yang berhubungan dengan pengertian jabatan, fungsi dan tingkah laku yang formal serta jasa yang diharapkan dari fungsi dan jabatan tersebut. Contoh : direktur perusahaan, pimpinan sekolah, dan lain sebagainya.[14]
Untuk menjalankan peranannya (role) seorang individu memerlukan fasilitas-fasilitas, disebut: Role Facilities. Peranan yang lebih dari satu bisa menimbulkan: Conflict of Role. Misal : mahasiswa yang kuliah sambil kerja. Pada kondisi tertentu terjadi pemisahan antara seorang Individu dengan Peranan yang dilakukan: Role Distance Misal : pada kondisi capek, tegang, Kinerja : akan turun
  1. Sifat stratifikasi sosial
a)      Stratifikasi terbuka
Anggota kelompok yang satu ada kemungkinan besar untuk berpindah ke kelompok yang lain, artinya dapat menurun ke kelompok yang lebih rendah atau sebaliknya. Contoh, kedudukan presiden dan menteri. Anak-anak presiden dan menteri belum tentu dapat mencapai kedudukan sebagai presiden atau menteri. Tetapi sebaliknya warga masyarakat pada umumnya ada kemungkinan dapat memiliki kedudukan seperti tersebut diatas.
b)     Stratifikasi tertutup
Kemungkinan pindah seseorang anggota kelompok dari golongan yang satu ke golongan yang lain kemungkinya sanagat kecil sekali, sebab biasanya sistem ini didasarkan atas keturunan. Jadi misalnya anak habaib jadi penerusnya. Dengan sendirinya akan tetap menjadi golongan habaib dan sebaliknya golongan masyarakat biasa.
Ditinjau dari segi psikologis kedua kelompok ini mempunyai kebaikan dan keburukan masing-masing. Stratifikasi terbuka itu lebih dinamis (progresif) dan anggota-anggota mempunyai cita-cita hidup yang lebih tinggi. Sedang stratifikasi tertutup bersifat statis, lebih-lebih golongan bawah dan kurang menunjukkan cita-cita yang tinggi. Adapun kelemahan stratifikasi terbuka ialah bahwa anggota-anggotanya mengalami kehiduapan yang selalu tegang dan khawatir. Sehingga akibatnya lebih banyak menaglami ketegangan dan konflik-konflik jiwa lebih besar daripada kelompok tertutup.
Maka dari itu orangtua pasti selalu berusaha supaya penghidupan dan kehidupan anak-anaknya masuk dalam tingkat golongannya, jika perlu bahkan diatasnya. Sebab jika tidak demikian penghidupan dan kehidupan mereka pasti akan turun dan akhirnya turun pulalah status dan peranan mereka.[15]
  1. Penentuan Strata[16]
Dari apa yang sudah diuraikan diatas, akhirnya kita dapat menentukan dan menyebutkan ukuran atau kriteria yang biasanya dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat kedalam lapisan-lapisan sosial ialah sebagai berikut ;
a)      Ukuran kekayaan : ukuran kekayaan (kebendaan) dapat dijadikan sebagai ukuran : barangsiapa yang mempunyai kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan sosial teratas. Kenyataan tersebut misalnya berupa mobil pribadinya, cara-cara mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk belanja barang mahal dan sebagainya.
b)      Ukuran kekuasaan : barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau mempunyai wewenang terbesar, menepati lapisan sosial teratas.
c)      Ukuran kehormatan : ukuran kehormatan mungkin terlepas dari ukuran-ukuran diatas tersebut, orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat atau menduduki lapisan sosial teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua ataumereka yang bpernah berjasa besar kepada masyarakat.
d)     Ukuran ilmu pengetahuan : ilmu pengetahuan dipakai ukuran oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Ukuran ini kadang-kadang menjadi negatif; karena ternyata bahwa bukan ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar sarjananya. Sudah tentu hal ini mengakibatkan segala macam usaha untuk mendapatkan gelar tersebut walaupun secara tidak halal.

KESIMPULAN
Berikut kesimpulan yang kami sampaikan, bahwasanya mengingat kembali dari signifikansi disiplin ilmu sosiologi agama itu sendiri. Setidaknya dengan pemaparan pembahasan mengenai stratifikasi sosial ini juga dapat membantu kita untuk menambah wacana akademis terkait dengan Living Qur’an maupun Sunnah yang pada khususnya melihat beragam sekali budaya masyarkat Indonesia yang masih perlu untuk diungkap khususnya dalam perspektif al-Qur’an maupun hadits. Sampai disini ada hal yang perlu kami sampaikan terkait dengan pembahasan ini bahwa stratifikasi sosial itu timbul dari hasil budaya masyarakat sendiri yang mana disitu ada yang muncul karena faktor kebutuhan atau memang seharusnya diperjuangkan dan bahkan ada faktor yang memaksa untuk menyikapi dan menerima hal tersebut. Demikian kiranya yang dapat kami sampaiakan, kurang lebihnya mohon maaf dan mohon maaf maklum adanya jika banyak kekhilafan, dan ucapan terimakasih kami sampaikan kepada bapak dosen maupun teman-teman mahasiswa yang sudah berkenan dan mau membaca serta mengkritisi makalah ini.
Wallahu a’lam bis-showab
DAFTAR PUSTAKA

ü  Scharf ,Betty R. , The Sociological Study Of Religion, ter. Husain Macnun, Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 1995.
ü  Soekanto, Soerjono, Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 1987.
ü  Hartomo dan arnicun aziz, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008.
ü  Noor , M. Arifin,Ilmu Sosial Dasar,Bandung : CV Pustaka Setia,1999.
ü  Moeis, Syarif,struktur sosial : startifikasi sosial, Bandung Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung,2008.
ü  Sumber : http://fenyzami.blogspot.com/2011/12/hubungan-agama-dengan-harmoni-dan.html. Akses hari sabtu, 16 maret 2013. Jam 12.06 WIB



[1] Betty R. Scharf, The Sociological Study Of Religion, ter. Husain Macnun, Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 1995. Hlm. 1
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 1987, hlm. 203.
[3] Ibid. Hlm. 204
[5] Sumber : http://fenyzami.blogspot.com/2011/12/hubungan-agama-dengan-harmoni-dan.html. Akses hari sabtu, 16 maret 2013. Jam 12.06 WIB
[6] Hartomo dan arnicun aziz, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008. Hlm. 200.
[7] Ibid. Hlm. 201.
[8] Sebagaimana dikutip oleh hartomo dan arnicus aziz dalam bukunya Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008. Hlm. 201. Pandangan  kingsley davis dan willert E. Moore tentang fungsi stratifikasi sosial dapat dilihat juga dalam  M. Arifin Noor,Ilmu Sosial Dasar,Bandung : CV Pustaka Setia,1999. Hlm. 161
[9] Soerjono Soekanto, hlm. 203-204
[10] Sebagaimana dikutip dalam  makalah berbentuk file pdf oleh  Syarif Moeis judul struktur sosial : startifikasi sosial, Bandung Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung,2008. Hlm. 10
[11] Op.cit. Hlm. 199-200. Bandingkan dengan  ibid. Hlm. 11-12 yang membaginya menjadi tiga yaitu ascribed status, achievel status dan assigned status.
[12] Syarif Moeis,hlm. 12
[13] Ibid. Hlm. 13-14
[14] Hartomo dan arnicun aziz,, hlm. 155
[15] Op.cit. hlm. 202-203
[16] Ibid. Hlm. 203-204

Tidak ada komentar: