Jumat, 08 Maret 2013

PEMIKIRAN MUSTAFA AL-A’ZAMI DALAM MENGKRITIK ORIENTALISME



Oleh : Zainul Khikam
Latar Belakang

Dari mana lagi para sarjana Barat memperoleh hampir seluruh data-data untuk studinya itu selain dari karya-karya para ulama Islam? Namun jika sumber datanya sama, mengapa kesimpulan para sarjana Barat itu berbeda dengan kesimpulan para ulama Islam? Jawabnya karena point of departure dan metodologinya memang berbeda. Berbeda dengan para ulama Islam. Orientalis barat bertolak dari prasangka dan praduga, berjalan dengan kecurigaan, dan berakhir dengan keraguan. Seperti Sisyphus dalam mitologi Yunani kuno, yang dihukum oleh para dewa untuk mendorong bongkahan batu ke puncak bukit, lalu membiarkannya jatuh untuk kemudian didorongnya lagi, demikian terus-menerus.[1]
Mengapa sepertiga isi buku The History of The Qur'anic Text - From Revelation to Compilation - Sejarah Teks Al-Quran - Dari Wahyu Sampai Kompilasinya mengupas Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru segala. Apa ada kaitannya dengan sejarah A1-Qur'an. Kami berharap pertanyaan ini dapat terungkap secara rinci melalui bab-bab yang menyentuh akar permasalahan. Itulah yang disebutkan oleh al-a’zami dalam pengantarnya.
Buku ini, dikerjakan bersamaan dengan tulisan lain tentang Metodologi Studi Keislaman. Tulisan Toby Lester (seorang wartawan) yang dimuat di The Atlantic Monthly bulan Januari, 1999, berusaha mengacaukan pikiran yang sedemikian parah di kalangan umat Islam dan telah membakar semangat konsentrasi penulisan. la mengatakan, "Kendati umat Islam percaya Al-Qur’an sebagai kitab suci Allah yang tak pernah ternoda dari pemalsuan mereka, tak mampu mengemukakan pendapat secara ilmiah." Tantangan ini mengemuka dan kami merasa terpanggil menghadapinya dengan mengupas tentang metode penelitian yang layaknya dipakai oleh ilmuwan di masa silam dalam menerima teks Al-Qur'an yang benar dan sikap penolakan mereka terhadap pemalsuan.
Hal ini pula yang menyebabkan terjadinya pengulangan yang tak terelakkan dari beberapa materi buku ini. Karena sebagian besar ilmuwan, seperti dikutip oleh T. Lester, terdiri dari kaum Yahudi dan Kristen, maka kesimpulan kami akan dirasa tepat guna mengadakan pembedahan secara tuntas terhadap Kitab Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama sebagai studi banding. Dengan cara ini diharap dapat membantu para kaum muslim dalam menyikapi perbedaan pendapat antara cendekiawan muslim dan para orientalis secara objektif dan kritis.
Pemikiran Mustafa Al-A’zami Dalam Mengkritik Orientalisme
A.    Profil Prof. Dr. Muhammad Mustofa  Al-A’zami
Muhammad  Mustofa  al-‘Azami adalah salah seorang cendikiawan terkemuka dibidang Hadits, lahir dikota Mano,India Utara, Tahun 1932. Nama Al A'zami nisbat dari daerah Azamgarh. Beliau berasal dari kota Mau Distrik Azamgarh negara bagian Utara Pradesh. Jadi nama itu bukan nama marga melainkan nisbat daerah.
Beliau punya tiga anak, dua putra dan satu putri. Putra yang pertama, Agil, sudah mendapatkan gelar doktor dalam bidang komputer dari Colorado, Amerika Serikat (AS).
Putra kedua namanya Anas juga meraih gelar doktor dalam genetic engineering di Oxford, Inggris. Sedang anak ketiga doktor dalam bidang matematika dari Colorado, AS.[2]Ayahnya pecinta ilmu dan membenci penjajahan, serta tidak suka bahasa Inggris. Watak ini mempengaruhi perjalanan studi Azami, dimana ketika masih duduk di SLTA beliau disuruh pindah oleh ayahnya ke sekolah islam yang menggunakan bahasa arab. Dari sinilah azami mulai belajar hadits. Tamat darisekolah islam, Azami lalu melanjutkan studinya di College of Science di Deoband, sebuah perguruan terbesar di India yang juga mengajarkan Studi Islam, dan tamat tahun 1952.
Kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Bahasa Arab,Jurusan Tadris, Uiversitas al-Azhar Cairo, dan tamat tahun 1955 dengan  memperoleh ijazah al-‘Alimiyah. T ahun itu juga beliau kembali ketanah airnya india.
Tahun 1956 beliau diangkat menjadi Dosen Bahasa Arab untuk Orang-orang Non-Arab di Qatar. Lalu tahun 1957 beliau diangkat sebagai Sekertaris Perpustakaan Nasional di Qatar (Dar al-Kutub al-Qatriyah).  tahun 1964 beliau melanjutkan studinya lagi di Universitas Cambridge,Inggris sampai meraih gelar Ph. D. tahun 1966 dengan disertasi berjudul Studies In Early Hadits Literature.  Lalu kembali lagi ke Qatar untuk memegang jabatan semula. Tahun 1968 beliau mengundurkan diri dari jabatanya di Qatar dan pindah ke Makkah untuk mengajar di Fakultas Pasca Sarjana, Jurusan Syari’ah dan Studi Islam  Universitas King ‘Abd al-‘Aziz (kini Universitas Umm al-Qura). Beliau, bersama al-Marhum Dr. Amin al-Mishri, termasuk yang ikut andil mendirikan Fakultas tersebut.
Tahun 1973 (1393 H) beliau pindah ke Riyadh untuk mengajar di Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas King Saud. Dan di Universitas ini Ali Mustafa Yaqub bertemu dengan ‘Azami sebagai murid dan guru, di mana setelah tamat ia medapat amanah dari ‘Azami untuk menerjemahkan buku-bukunya. Reputasi ilmiah Azami melejit ketika pada tahun 1400 H/1980 M beliau memenangkan hadiah Internasional Raja Faisal Riyadh. Kini Azami tinggal di Perumaan Dosen Universitas King Saud,Riyadh, sebagai guru besar hadits dan Ilmu Hadits di Universitas tersebut.[3]
Karya-karya beliau adalah : Studies In Early Hadits Literature ,hadits methodology dan Literaturnya, On Schact’s Origin of Muhammadan Jurisprudence,Dirasah fil hadits an-Nabawy, Kuttab an-Nabi, Manhaj an-Naqd ‘Ind al-‘Ilal Muhadditsin, dan al-Muhaddithin min al-Yamamah. Serta beberapa buku yang dieditnya antara lain: al-Illah of Ibn al-Madini,Kitab at-Tamyiz of Imam Muslim, Maghazi Rasulullah of ‘Urwah bin Zubayr, Muwatta Imam Malik, Shahih Ibnu Khuzaimah, dan Sunan Ibnu Majjah. Beberapa karya Azami telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa lain.[4] The Qur'anic Challenge: A Promise Fulfilled (Tantangan AI-Qur'an: Suatu Janji yang Telah Terpenuhi), The Isnad System : Its Origins and Authenticity (Sistem Isnad: Keaslian dan Kesahihan­nya).
Spesialis penakluk tesis kaum Orientalis. Predikat itu tepat disematkan pada sosok Prof. Dr. Muhammad Mustafa al-A'zami, A'zami mungkin tidak setenar Dr. Yusuf Qardlawi dan ulama’ fatwa (mufti) lainnya. Namun kontribusi ilmiahnya sungguh spektakuler.
Sumbangan penting A'zami terutama dalam ilmu hadis. Disertasinya di Universitas Cambridge, Inggris, ''Studies in Early Hadith Literature'' (1966), secara akademik mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969), tentang hadis. Riset Goldziher (1890) berkesimpulan bahwa kebenaran hadis sebagai ucapan Nabi Muhammad SAW tidak terbukti secara ilmiah. Hadis hanyalah bikinan umat Islam abad kedua Hijriah.
Pikiran pengkaji Islam asal Hongaria itu jadi pijakan banyak orientalis lain, termasuk Snouck Hurgronje (1857-1936), penasihat kolonial Belanda. Tahun 1960, tesis Goldziher diperkuat Joseph Schacht, profesor asal Jerman, dengan teori "proyeksi ke belakang". Hadis, kata Schacht, dibentuk para hakim abad kedua Hijriah untuk mencari dasar legitimasi produk hukum mereka. Lalu disusunlah rantai periwayatnya ke belakang hingga masa Nabi.
Namun belum ada sanggahan telak atas pikiran Goldziher-Schacht dengan standar ilmiah, selain disertasi A'zami. "Cukup mengherankan," tulis Abdurrahman Wahid saat pertama mempromosikan A'zami di Indonesia tahun 1972, "hanya dalam sebuah disertasi ia berhasil memberi sumbangan demikian fundamental bagi penyelidikan hadis." Gus Dur menyampaikan itu dalam Dies Natalis Universitas Hasyim Asy'ari, Jombang, tak lama setelah pulang kuliah dari Baghdad.
Temuan naskah kuno hadis abad pertama Hijriah dan analisis disertasi itu secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul otentik dari Nabi. A'zami secara khusus juga menulis kritik tuntas atas karya monumental Joseph Schacht, judulnya On Schacht's Origins of Muhammadan Jurisprudence. Versi Indonesia, buku ini dan disertasi A'zami sudah beredar luas di Tanah Air.[5]
Ali Mustafa membandingkan jasa A'zami dengan Imam Syafi'i (w. 204 H). Syafi'i pernah dijuluki "pembela sunah" oleh penduduk Mekkah karena berhasil mematahkan argumen pengingkar sunah --sebutan lain hadis. "Pada masa kini," kata Ali Mustafa, "Prof. A'zami pantas dijuluki 'pembela eksistensi hadis' karena berhasil meruntuhkan argumentasi orientalis yang menolak hadis berasal dari Nabi."[6]
Setelah lama mapan dalam studi hadis, belakangan A'zami merambah bidang studi lain: Al-Quran. Namun inti kajiannya sama: menyangkal studi orientalis yang menyangsikan otentisitas Al-Quran sebagai kitab suci. Ia menulis buku The History of The Qur'anic Text, yang juga berisi perbandingan dengan sejarah Perjanjian Lama dan Baru. "Ini karya pertama saya tentang Al-Quran," kata peraih Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam tahun 1980 itu.[7]
B.     Beberapa Kritikan Al-A’zami Terhadap Orintalisme
Dalam melakukan kajian terhadap dunia Timur, kajian para Orientalis cenderung dianggap Subyektivitas, yaitu tidak terlepas dari fanatic agama atau fanatic rasial.[8] Sehingga emosional dan latar belakang sangat menentukan kajian yang telah dilakukan, baik itu dalam bentuk penelitian, sastra ataupun sejarah. Oleh karena itu pembahasan-pembahasan mereka penuh kekeliruan dan bahkan kebohongan-kebohongan yang disengaja, dimana para pembacanya harus berhati-hati.
Bahkan banyak persoalan-persoakan bahasa dan kesusastteraan serta sejarah yang disalahgunakan dari kebenaran. Dalam pembahasan-pembahasan di Encyclopedia Of Islam.[9] Kesalahan-kesalahan mereka lebih menonjol lagi, terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan soal-soal keagamaan murni.[10]
Kecenderungan subyektif ini dapat dilihat dari pemikiran Habermas.  Berbeda dengan A’zhami, bagi Habermas ilmu pengetahuan tidak dapat  lepas dari kepentingannya. Menurut Habermas, kepentingannya adalah keadaan alami yang dimiliki oleh tiap manusia dalam melakukan aktivitas kehidupannya, termasuk dalam aktivitas keilmuan. Selain itu, para peneliti juga memiliki “innerworld” (dunia internal) atau cara pandangnya. Cara pandang ini tidak dapat  dilepaskan begitu saja ketika melakukan aktivitas penelitian. Kecenderungan  sikap seperti ini yang dikritik oleh A’zhami sebagai sikap unnaturally, yaitu  suatu sikap tidak alami dan dengan hasil penelitian yang sama.
Penelitian merupakan salah satu usaha dalam menyingkapkan makna.  Penyingkapan makna dari realitas, berbeda dengan realitas itu sendiri. Realitas  bersifat netral, sedangkan penyingkapannya tergantung pada subyek atau sang penafsir (interpreut), termasuk dalam hal pengetahuan yang dimiliki sang penafsir. Sebagaimana yang dikatakan Inden bahwa pengetahuan turut  mengkonstruksi realitas dan tidak bersifat alamiah (dalam pengertian  ada dengan  sendirinya dan diberi), tetapi dalam banyak hal, dikonstruksi. makna dari realitas dinyatakan bahwa penafsiran tidaklah lepas dari dunia sang penafsir (interpreut). Sang penafsir pun tidak dapat membersihkan diri dari kecenderungan berfikir, emosi, atau perasaan tertentu untuk melihat teks.
Semua realitas adalah obyek penafsiran, termasuk dunia ketimuran. Sebagaimana bias kita lihat dalam beberapa contoh kajian orientalis yang diliputi kecenderungan  Subyektifitas emosional yang tinggi ketika mengkaji Islam. Diantaranya perkataan Yoseph Schot (murid Goldzehir seorang orientalis berkebangsaan Hongaria)  yang menandaskan bahwa syariat Islam itu tidak berbeda dengan tradisi jahiliah. Ini jelas tuduhan batil yang telah mempengaruhi banyak penulis lain.
Di antara kebohongan dan kesesatan Schot lainnya adalah anggapannya bahwa  pemikiran bangsa Yunani lebih utama dan lebih maju daripada pemikiran Islam. Juga pernyataan seorang orientalis bernama Sadrasky yang mengatakan bahwa cerita-cerita atau sejarah dan berita-berita yang dikemukaan dalam Al-Qur`an atau  kitab-kitab tafsir itu mengacu pada karya-karya Yahudi, Taurat, dan Injil. pengingkaran yang dilakukan orientalis lainnya bernama Bertlaw terhadap buku- buku kimia berbahasa Latin yang mencantumkan nama Jabir bin Hayyan sebagai kitab yang berasal dari kitab berbahasa Arab. juga beberapa Ensiklopedia dan kamus-kamus yang dibuat para orientalis yang mana hasil karya mereka diliputi subyektifitas berupa jiwa yang penuh dendam terhadap Islam, seperti Dairat Al – Ma`arif Al Islamiyyah, atau Al –Munjid fi Al Lughah wa Al-ulum wa Al–Adab,atau Al–Mausu`at Al-`Arabiyyah Al-Muyassarah.
Kecenderungan sikap Subyektifitas para Orientalis dalam melihat dunia  timur  menjadi titik awal pandangan A’zhami dalam menuangkan pemikiran-pemikiran yang berisi kritik terhadap teks-teks orientalis. Dalam melakukan kritik teks, ‘Azami membandingkan antara teks (dalam  bentuk tulisan, hasil penelitian, karya sastra, seni lukis, atau dalam bentuk percakapan) dengan realitas apa yang mereka gambarkan, lalu dihubungkan  bagaimana teks itu mempunyai keterkaitan dengan sikap emosional para  orientalis.[11]
A’zhami memfokuskan pada kritik hasil studi penelitian orientalisme. A’zhami melakukan kritik terhadap keraguan keotentikan Al Qur’an ataupun Hadits-hadits shahih. Metode yang  ditempuh oleh A’zhami dengan melakukan pendetailan historis proses dikumpulkannya Al-Qur’an dan Hadits, serta menjawab berbagai keberatan- keberatan yang dilakukan oleh para orientalis. Misalnya, ia mengkritik pandangan  Arthur  Jeffery yang mempermasalahkan tiadanya tanda bantu (harokat atau titik) dalam huruf arab. A’zhami menyanggah pernyataan itu bahwa permasalahan tiadanya titik dan harokat tidak menjadi sebab permasalahan serius waktu itu, karena budaya lisan dan hafalan telah berkembang sebelumnya, serta susunan bahasa arab tidak memungkinkan cara pembacaan yang lain karena sangat mempengaruhi makna. Bahkan dalam bentuk surat menyurat pun telah dilakukan sejak sebelum masa kedatangan Islam tanpa harokat dan titik, tetapi dapat terbaca.[12]
Selain itu, A’zhami menyatakan bahwa referensi-referensi yang diambil Arthur dari ulama’ tidak diambil secara utuh, tetapi dipilah-pilah mana yang mendukung pernyataannya. Cara kerja dengan memilah-milah sesuai dengan keinginannya ini, menurut A’zhami dilandasi dengan sisi emosional sang Orientalis. A’zhami mencoba melakukan kritik balik dengan membandingkan pernyataan kaum Orientalis tersebut ketika dihadapkan pada teks Kitab Sucinya, yaitu Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru. Terdapat perbedaan mencolok, karena dalam kedua kitab itu, metode yang diterapkan untuk mengkritik keotentikan Al-Qur’an tidak diterapkan pada kedua kitab suci tersebut. A’zhami dalam bagian akhir tulisannya melakukan perbandingan antara hasil penelitian  Jeffery dan beberapa orientalis terkenal lainnya, seperti Snouck, dengan latar belakang kehidupan dan sikap keagamaan mereka.
Tulisan A’zhami dalam bukunya The History of Quranic Text yang berisi tentang sanggahan terhadap kemungkinan berubahnya naskah asli Al-Qur’an dengan menyajikan beragam riwayat dan bukti-bukti otentik, terdapat pertautan.[13]




KESIMPULAN
Dari paparan diatas, dapatlah disimpulkan bahwa kaum Orientalism Dalam melakukan kajian terhadap dunia Timur cenderung dianggap Subyektivitas, yaitu tidak terlepas dari fanatic agama atau fanatic rasial. Sehingga emosional dan latar belakang sangat menentukan kajian yang telah dilakukan, baik itu dalam bentuk penelitian, sastra ataupun sejarah.
Oleh karena itu pembahasan-pembahasan mereka penuh kekeliruan dan bahkan kebohongan-kebohongan yang disengaja, dimana para pembacanya harus berhati-hati. Bahkan banyak persoalan-persoakan bahasa dan kesusasteraan serta sejarah yang disalahgunakan dari kebenaran.
Dalam pembahasan-pembahasan di Encyclopedia Of Islam. Kesalahan-kesalahan mereka lebih menonjol lagi, terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan soal-soal keagamaan murni. Mereka memahami sesuatu dengan semaunya sendiri tanpa mempertimbangkan kepada para pewaris-pewaris ilmu-ilmu tersebut. Inilah peran A’zami dalam membela agama kita yaitu Isam. Hasil pemikirannya yang sangat penting dan mampu mendongkrak laju perkembangan teror yang dilakukan oleh orang Barat Kepada Timur (Semoga Allah Memberkahinya).
Sumbangan penting A'zami yang paling penting terutama dalam ilmu hadis. Disertasinya di Universitas Cambridge, Inggris, ''Studies in Early Hadith Literature'', secara akademik mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua orientalis Yahudi yaitu Ignaz Goldziher  dan Joseph Schacht tentang hadis.












DAFTAR PUSTAKA
o   Arif , Syamsuddin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran,Jakarta: Gema Insani Press, 2008.
o   Azami .Mustofa.,Hadits Nabi Dan Sejarah Kodifikasinya, Pasar Minggu: Pustaka Firdaus,Cet. Ke-4.2009.
o   ____________, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, (terj.) Jakarta: Gema Insani Press,2005
o   Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran, Jakarta; Gema Insani Press, 2005.
o   Hanafi, Ahmad, Orientalisme  Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits),Jakarta:Pustaka al Husna, 1981.
o   Makalah Komparasi pemikiran Sa’id dan Mustofa al-A’zami dalam kritiknya terhadap orientalisme, akses  November 18, 2012 jam : 5:28:24.
o   http://indrayogi.multiply.com/reviews/item/10 akses minggu tgl 18 November 2012 jam 19.29 Wib



[1] Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran,(Jakarta: Gema Insani Press, 2008 hlm.24
[2] http://indrayogi.                multiply.com/reviews/item/10 akses minggu tgl 18 November 2012 jam 19.29 Wib
[3] M.M.Azami,Hadits Nabi Dan Sejarah Kodifikasinya, Pasar Minggu: Pustaka Firdaus,Cet. Ke-4.2009. hlm. 700. (lihat Juga The History Of The Qur’anic  Text,hlm. 411
[4] Mustafa Al-A’zami, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, (terj.) Jakarta: Gema
Insani Press, 2005, Hlm. 411
[5] http://indrayogi.multiply.com/reviews/item/10 akses minggu tgl 18 November 2012 jam 19.29 Wib
[6] Sebagaimana ditulisnya dalam pengantar buku edisi terjemaham Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi.
[7] Op.cit.
[8] A. Hanafi, Orientalisme  Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ),Jakarta:
Pustaka al Husna, 1981, hlm.18
[9] Komparasi pemikiran Sa’id dan Mustofa al-A’zami dalam kritiknya terhadap orientalisme, akses  November 18, 2012 jam : 5:28:24. Hlm. 3
[10] Op.cit. hlm. 18
[11] Op.cit. hlm. 4-5
[12] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran, (Jakarta; Gema Insani Press, 2005), hlm. 107
[13] Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, (terj.) (Jakarta: Gema
Insani Press, 2005), hlm. 179

Tidak ada komentar: