Oleh : Zainul Khikam
Latar
Belakang
Dari mana lagi para sarjana
Barat memperoleh hampir seluruh data-data untuk studinya itu selain dari
karya-karya para ulama Islam? Namun jika sumber datanya sama, mengapa
kesimpulan para sarjana Barat itu berbeda dengan kesimpulan para ulama Islam?
Jawabnya karena point of departure dan metodologinya memang berbeda. Berbeda
dengan para ulama Islam. Orientalis barat bertolak dari prasangka dan praduga,
berjalan dengan kecurigaan, dan berakhir dengan keraguan. Seperti Sisyphus
dalam mitologi Yunani kuno, yang dihukum oleh para dewa untuk mendorong
bongkahan batu ke puncak bukit, lalu membiarkannya jatuh untuk kemudian
didorongnya lagi, demikian terus-menerus.[1]
Mengapa sepertiga isi buku The History of The
Qur'anic Text - From Revelation to Compilation - Sejarah Teks Al-Quran - Dari
Wahyu Sampai Kompilasinya mengupas
Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru segala. Apa ada kaitannya dengan
sejarah A1-Qur'an. Kami berharap pertanyaan ini dapat terungkap secara rinci
melalui bab-bab yang menyentuh akar permasalahan. Itulah yang disebutkan oleh
al-a’zami dalam pengantarnya.
Buku ini, dikerjakan bersamaan
dengan tulisan lain tentang Metodologi Studi Keislaman. Tulisan Toby Lester
(seorang wartawan) yang dimuat di The Atlantic Monthly bulan Januari,
1999, berusaha mengacaukan pikiran yang sedemikian parah di kalangan umat Islam
dan telah membakar semangat konsentrasi penulisan. la mengatakan, "Kendati
umat Islam percaya Al-Qur’an sebagai kitab suci Allah yang tak pernah ternoda
dari pemalsuan mereka, tak mampu mengemukakan pendapat secara ilmiah."
Tantangan ini mengemuka dan kami merasa terpanggil menghadapinya dengan
mengupas tentang metode penelitian yang layaknya dipakai oleh ilmuwan di masa
silam dalam menerima teks Al-Qur'an yang benar dan sikap penolakan mereka
terhadap pemalsuan.
Hal ini pula yang menyebabkan
terjadinya pengulangan yang tak terelakkan dari beberapa materi buku ini.
Karena sebagian besar ilmuwan, seperti dikutip oleh T. Lester, terdiri dari
kaum Yahudi dan Kristen, maka kesimpulan kami akan dirasa tepat guna mengadakan
pembedahan secara tuntas terhadap Kitab Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama
sebagai studi banding. Dengan cara ini diharap dapat membantu para kaum muslim
dalam menyikapi perbedaan pendapat antara cendekiawan muslim dan para
orientalis secara objektif dan kritis.
Pemikiran
Mustafa Al-A’zami Dalam Mengkritik Orientalisme
A. Profil Prof. Dr. Muhammad Mustofa Al-A’zami
Muhammad Mustofa al-‘Azami adalah salah seorang cendikiawan
terkemuka dibidang Hadits, lahir dikota Mano,India Utara, Tahun 1932. Nama Al A'zami nisbat dari daerah Azamgarh. Beliau berasal
dari kota Mau Distrik Azamgarh negara bagian Utara Pradesh. Jadi nama itu bukan
nama marga melainkan nisbat daerah.
Beliau punya tiga anak, dua putra
dan satu putri. Putra yang pertama, Agil, sudah mendapatkan gelar doktor dalam
bidang komputer dari Colorado, Amerika Serikat (AS).
Putra kedua namanya Anas juga
meraih gelar doktor dalam genetic engineering di Oxford, Inggris. Sedang anak
ketiga doktor dalam bidang matematika dari Colorado, AS.[2]Ayahnya
pecinta ilmu dan membenci penjajahan, serta tidak suka bahasa Inggris. Watak
ini mempengaruhi perjalanan studi Azami, dimana ketika masih duduk di SLTA
beliau disuruh pindah oleh ayahnya ke sekolah islam yang menggunakan bahasa arab. Dari sinilah
azami mulai belajar hadits. Tamat darisekolah islam, Azami lalu melanjutkan
studinya di College of Science di Deoband, sebuah perguruan terbesar di India
yang juga mengajarkan Studi Islam, dan tamat tahun 1952.
Kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Bahasa Arab,Jurusan
Tadris, Uiversitas al-Azhar Cairo, dan tamat tahun 1955 dengan memperoleh ijazah al-‘Alimiyah. T ahun
itu juga beliau kembali ketanah airnya india.
Tahun 1956 beliau diangkat menjadi Dosen Bahasa Arab
untuk Orang-orang Non-Arab di Qatar. Lalu tahun 1957 beliau diangkat sebagai
Sekertaris Perpustakaan Nasional di Qatar (Dar al-Kutub al-Qatriyah). tahun 1964 beliau melanjutkan studinya lagi
di Universitas Cambridge,Inggris sampai meraih gelar Ph. D. tahun 1966 dengan
disertasi berjudul Studies In Early Hadits Literature. Lalu kembali lagi ke Qatar untuk memegang
jabatan semula. Tahun 1968 beliau mengundurkan diri dari jabatanya di Qatar dan
pindah ke Makkah untuk mengajar di Fakultas Pasca Sarjana, Jurusan Syari’ah dan
Studi Islam Universitas King ‘Abd
al-‘Aziz (kini Universitas Umm al-Qura). Beliau, bersama al-Marhum Dr.
Amin al-Mishri, termasuk yang ikut andil mendirikan Fakultas tersebut.
Tahun 1973 (1393 H) beliau pindah ke Riyadh untuk
mengajar di Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas King Saud.
Dan di Universitas ini Ali Mustafa Yaqub bertemu dengan ‘Azami sebagai murid
dan guru, di mana setelah tamat ia medapat amanah dari ‘Azami untuk
menerjemahkan buku-bukunya. Reputasi ilmiah Azami melejit ketika pada tahun
1400 H/1980 M beliau memenangkan hadiah Internasional Raja Faisal Riyadh. Kini
Azami tinggal di Perumaan Dosen Universitas King Saud,Riyadh, sebagai guru besar
hadits dan Ilmu Hadits di Universitas tersebut.[3]
Karya-karya beliau adalah : Studies In Early
Hadits Literature ,hadits methodology dan Literaturnya, On Schact’s Origin of
Muhammadan Jurisprudence,Dirasah fil hadits an-Nabawy, Kuttab an-Nabi, Manhaj
an-Naqd ‘Ind al-‘Ilal Muhadditsin, dan al-Muhaddithin min al-Yamamah. Serta
beberapa buku yang dieditnya antara lain: al-Illah of Ibn al-Madini,Kitab
at-Tamyiz of Imam Muslim, Maghazi Rasulullah of ‘Urwah bin Zubayr, Muwatta Imam
Malik, Shahih Ibnu Khuzaimah, dan Sunan Ibnu Majjah. Beberapa karya Azami
telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa lain.[4] The Qur'anic
Challenge: A Promise Fulfilled (Tantangan AI-Qur'an: Suatu Janji yang Telah
Terpenuhi), The Isnad System : Its Origins and Authenticity (Sistem Isnad:
Keaslian dan Kesahihannya).
Spesialis penakluk
tesis kaum Orientalis. Predikat itu tepat disematkan pada sosok Prof. Dr. Muhammad
Mustafa al-A'zami, A'zami mungkin tidak setenar Dr. Yusuf
Qardlawi dan ulama’ fatwa (mufti) lainnya. Namun kontribusi ilmiahnya sungguh
spektakuler.
Sumbangan penting A'zami terutama dalam ilmu hadis.
Disertasinya di Universitas Cambridge, Inggris, ''Studies in Early Hadith
Literature'' (1966), secara akademik mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua
orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969),
tentang hadis. Riset Goldziher (1890) berkesimpulan bahwa kebenaran hadis
sebagai ucapan Nabi Muhammad SAW tidak terbukti secara ilmiah. Hadis hanyalah
bikinan umat Islam abad kedua Hijriah.
Pikiran pengkaji Islam asal Hongaria itu jadi
pijakan banyak orientalis lain, termasuk Snouck Hurgronje (1857-1936),
penasihat kolonial Belanda. Tahun 1960, tesis Goldziher diperkuat Joseph
Schacht, profesor asal Jerman, dengan teori "proyeksi ke belakang".
Hadis, kata Schacht, dibentuk para hakim abad kedua Hijriah untuk mencari dasar
legitimasi produk hukum mereka. Lalu disusunlah rantai periwayatnya ke belakang
hingga masa Nabi.
Namun belum ada sanggahan telak atas pikiran
Goldziher-Schacht dengan standar ilmiah, selain disertasi A'zami. "Cukup
mengherankan," tulis Abdurrahman Wahid saat pertama mempromosikan A'zami
di Indonesia tahun 1972, "hanya dalam sebuah disertasi ia berhasil memberi
sumbangan demikian fundamental bagi penyelidikan hadis." Gus Dur menyampaikan
itu dalam Dies Natalis Universitas Hasyim Asy'ari, Jombang, tak lama setelah
pulang kuliah dari Baghdad.
Temuan naskah kuno hadis abad pertama Hijriah dan
analisis disertasi itu secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul
otentik dari Nabi. A'zami secara khusus juga menulis kritik tuntas atas karya
monumental Joseph Schacht, judulnya On Schacht's Origins of Muhammadan
Jurisprudence. Versi Indonesia, buku ini dan disertasi A'zami sudah beredar
luas di Tanah Air.[5]
Ali Mustafa membandingkan jasa A'zami dengan Imam
Syafi'i (w. 204 H). Syafi'i pernah dijuluki "pembela sunah" oleh
penduduk Mekkah karena berhasil mematahkan argumen pengingkar sunah --sebutan
lain hadis. "Pada masa kini," kata Ali Mustafa, "Prof. A'zami
pantas dijuluki 'pembela eksistensi hadis' karena berhasil meruntuhkan
argumentasi orientalis yang menolak hadis berasal dari Nabi."[6]
Setelah lama mapan dalam studi hadis, belakangan
A'zami merambah bidang studi lain: Al-Quran. Namun inti kajiannya sama:
menyangkal studi orientalis yang menyangsikan otentisitas Al-Quran sebagai
kitab suci. Ia menulis buku The History of The Qur'anic Text, yang juga berisi perbandingan dengan
sejarah Perjanjian Lama dan Baru. "Ini karya pertama saya tentang Al-Quran,"
kata peraih Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam tahun 1980 itu.[7]
B. Beberapa Kritikan Al-A’zami Terhadap Orintalisme
Dalam
melakukan kajian terhadap dunia Timur, kajian para Orientalis cenderung
dianggap Subyektivitas, yaitu tidak terlepas dari fanatic agama atau fanatic
rasial.[8]
Sehingga emosional dan latar belakang sangat menentukan kajian yang telah
dilakukan, baik itu dalam bentuk penelitian, sastra ataupun sejarah. Oleh
karena itu pembahasan-pembahasan mereka penuh kekeliruan dan bahkan
kebohongan-kebohongan yang disengaja, dimana para pembacanya harus
berhati-hati.
Bahkan
banyak persoalan-persoakan bahasa dan kesusastteraan serta sejarah yang
disalahgunakan dari kebenaran. Dalam pembahasan-pembahasan di Encyclopedia
Of Islam.[9] Kesalahan-kesalahan
mereka lebih menonjol lagi, terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan
soal-soal keagamaan murni.[10]
Kecenderungan subyektif ini dapat dilihat dari pemikiran Habermas.
Berbeda dengan
A’zhami, bagi Habermas ilmu pengetahuan tidak dapat lepas dari
kepentingannya. Menurut Habermas, kepentingannya adalah keadaan alami yang
dimiliki oleh tiap manusia dalam melakukan aktivitas kehidupannya, termasuk
dalam aktivitas keilmuan. Selain itu, para peneliti juga memiliki “innerworld”
(dunia internal) atau cara pandangnya. Cara pandang ini tidak dapat dilepaskan begitu
saja ketika melakukan aktivitas penelitian. Kecenderungan sikap seperti ini
yang dikritik oleh A’zhami sebagai sikap unnaturally, yaitu suatu sikap tidak
alami dan dengan hasil penelitian yang sama.
Penelitian merupakan salah satu usaha dalam menyingkapkan makna. Penyingkapan makna
dari realitas, berbeda dengan realitas itu sendiri. Realitas bersifat netral,
sedangkan penyingkapannya tergantung pada subyek atau sang penafsir (interpreut),
termasuk dalam hal pengetahuan yang dimiliki sang penafsir. Sebagaimana yang
dikatakan Inden bahwa pengetahuan turut mengkonstruksi
realitas dan tidak bersifat alamiah (dalam pengertian ada dengan sendirinya dan
diberi), tetapi dalam banyak hal, dikonstruksi. makna
dari realitas dinyatakan bahwa penafsiran tidaklah lepas dari dunia sang
penafsir (interpreut). Sang penafsir pun tidak dapat membersihkan diri dari
kecenderungan berfikir, emosi, atau perasaan tertentu untuk melihat teks.
Semua realitas
adalah obyek penafsiran, termasuk dunia ketimuran. Sebagaimana bias kita lihat
dalam beberapa contoh kajian orientalis yang diliputi kecenderungan Subyektifitas
emosional yang tinggi ketika mengkaji Islam. Diantaranya perkataan Yoseph Schot
(murid Goldzehir seorang orientalis berkebangsaan Hongaria) yang menandaskan
bahwa syariat Islam itu tidak berbeda dengan tradisi jahiliah. Ini jelas
tuduhan batil yang telah mempengaruhi banyak penulis lain.
Di antara kebohongan dan kesesatan Schot lainnya adalah
anggapannya bahwa pemikiran bangsa Yunani lebih utama dan lebih maju daripada
pemikiran Islam. Juga pernyataan seorang
orientalis bernama Sadrasky yang mengatakan bahwa cerita-cerita atau sejarah
dan berita-berita yang dikemukaan dalam Al-Qur`an atau kitab-kitab tafsir
itu mengacu pada karya-karya Yahudi, Taurat, dan Injil. pengingkaran yang
dilakukan orientalis lainnya bernama Bertlaw terhadap buku- buku kimia berbahasa Latin yang mencantumkan nama Jabir bin
Hayyan sebagai kitab yang berasal dari kitab berbahasa Arab. juga beberapa Ensiklopedia dan kamus-kamus yang dibuat para
orientalis yang mana hasil karya mereka diliputi subyektifitas berupa jiwa yang
penuh dendam terhadap Islam, seperti Dairat Al – Ma`arif Al Islamiyyah, atau Al –Munjid fi Al Lughah wa
Al-ulum wa Al–Adab,atau Al–Mausu`at Al-`Arabiyyah Al-Muyassarah.
Kecenderungan sikap Subyektifitas para Orientalis dalam melihat
dunia timur menjadi titik awal pandangan A’zhami dalam
menuangkan pemikiran-pemikiran yang berisi kritik terhadap teks-teks
orientalis. Dalam melakukan kritik teks, ‘Azami membandingkan antara teks
(dalam bentuk
tulisan, hasil penelitian, karya sastra, seni lukis, atau dalam bentuk
percakapan) dengan realitas apa yang mereka gambarkan, lalu dihubungkan bagaimana teks itu
mempunyai keterkaitan dengan sikap emosional para orientalis.[11]
A’zhami memfokuskan pada kritik hasil studi penelitian
orientalisme. A’zhami melakukan kritik terhadap keraguan keotentikan Al Qur’an
ataupun Hadits-hadits shahih. Metode yang
ditempuh oleh A’zhami dengan melakukan pendetailan historis proses
dikumpulkannya Al-Qur’an dan Hadits, serta menjawab berbagai keberatan-
keberatan yang dilakukan oleh para orientalis. Misalnya, ia mengkritik
pandangan Arthur Jeffery yang mempermasalahkan tiadanya tanda
bantu (harokat atau titik) dalam huruf arab. A’zhami menyanggah
pernyataan itu bahwa permasalahan tiadanya titik dan harokat tidak
menjadi sebab permasalahan serius waktu itu, karena budaya lisan dan hafalan
telah berkembang sebelumnya, serta susunan bahasa arab tidak memungkinkan cara
pembacaan yang lain karena sangat mempengaruhi makna. Bahkan dalam bentuk surat
menyurat pun telah dilakukan sejak sebelum masa kedatangan Islam tanpa harokat
dan titik, tetapi dapat terbaca.[12]
Selain itu, A’zhami menyatakan bahwa referensi-referensi yang
diambil Arthur dari ulama’ tidak diambil secara utuh, tetapi dipilah-pilah mana
yang mendukung pernyataannya. Cara kerja dengan memilah-milah sesuai dengan
keinginannya ini, menurut A’zhami dilandasi dengan sisi emosional sang
Orientalis. A’zhami mencoba melakukan kritik balik dengan membandingkan
pernyataan kaum Orientalis tersebut ketika dihadapkan pada teks Kitab Sucinya,
yaitu Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru. Terdapat perbedaan mencolok,
karena dalam kedua kitab itu, metode yang diterapkan untuk mengkritik
keotentikan Al-Qur’an tidak diterapkan pada kedua kitab suci tersebut. A’zhami
dalam bagian akhir tulisannya melakukan perbandingan antara hasil
penelitian Jeffery dan beberapa
orientalis terkenal lainnya, seperti Snouck, dengan latar belakang kehidupan
dan sikap keagamaan mereka.
Tulisan A’zhami dalam bukunya The History of Quranic Text yang
berisi tentang sanggahan terhadap kemungkinan berubahnya naskah asli Al-Qur’an
dengan menyajikan beragam riwayat dan bukti-bukti otentik, terdapat pertautan.[13]
KESIMPULAN
Dari paparan
diatas, dapatlah disimpulkan bahwa kaum Orientalism Dalam
melakukan kajian terhadap dunia Timur cenderung dianggap Subyektivitas, yaitu
tidak terlepas dari fanatic agama atau fanatic rasial. Sehingga emosional dan
latar belakang sangat menentukan kajian yang telah dilakukan, baik itu dalam
bentuk penelitian, sastra ataupun sejarah.
Oleh karena itu pembahasan-pembahasan mereka penuh
kekeliruan dan bahkan kebohongan-kebohongan yang disengaja, dimana para
pembacanya harus berhati-hati. Bahkan banyak persoalan-persoakan bahasa dan
kesusasteraan serta sejarah yang disalahgunakan dari kebenaran.
Dalam pembahasan-pembahasan di Encyclopedia Of
Islam. Kesalahan-kesalahan mereka lebih menonjol lagi, terutama dalam
hal-hal yang berhubungan dengan soal-soal keagamaan murni. Mereka memahami sesuatu dengan semaunya sendiri tanpa
mempertimbangkan kepada para pewaris-pewaris ilmu-ilmu tersebut. Inilah peran A’zami dalam membela agama kita yaitu Isam. Hasil
pemikirannya yang sangat penting dan mampu mendongkrak laju perkembangan teror
yang dilakukan oleh orang Barat Kepada Timur (Semoga Allah Memberkahinya).
Sumbangan penting A'zami yang paling penting terutama dalam ilmu
hadis. Disertasinya di Universitas Cambridge, Inggris, ''Studies in Early
Hadith Literature'', secara akademik mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua
orientalis Yahudi yaitu Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht tentang
hadis.
DAFTAR PUSTAKA
o
Arif , Syamsuddin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran,Jakarta:
Gema Insani Press, 2008.
o
Azami .Mustofa.,Hadits Nabi Dan Sejarah
Kodifikasinya, Pasar Minggu:
Pustaka Firdaus,Cet. Ke-4.2009.
o
____________, Sejarah
Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, (terj.) Jakarta: Gema Insani
Press,2005
o
Armas, Adnin,
Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran, Jakarta; Gema Insani Press, 2005.
o
Hanafi, Ahmad,
Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata
Agama ( Quran dan Hadits),Jakarta:Pustaka
al Husna, 1981.
o
Makalah Komparasi pemikiran
Sa’id dan Mustofa al-A’zami dalam kritiknya terhadap orientalisme,
akses November 18, 2012 jam : 5:28:24.
o

http://indrayogi.multiply.com/reviews/item/10
akses minggu tgl 18 November 2012 jam 19.29 Wib


[1]
Syamsuddin
Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran,(Jakarta: Gema Insani Press,
2008 hlm.24
[2] http://indrayogi. multiply.com/reviews/item/10
akses minggu tgl 18 November 2012 jam 19.29 Wib
[3] M.M.Azami,Hadits Nabi Dan
Sejarah Kodifikasinya, Pasar Minggu:
Pustaka Firdaus,Cet. Ke-4.2009. hlm. 700. (lihat Juga The History Of The
Qur’anic Text,hlm. 411
[4] Mustafa Al-A’zami, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu
sampai Kompilasi, (terj.) Jakarta: Gema
Insani Press, 2005, Hlm. 411
[5] http://indrayogi.multiply.com/reviews/item/10
akses minggu tgl 18 November 2012 jam 19.29 Wib
[6] Sebagaimana ditulisnya dalam pengantar buku edisi
terjemaham Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai
Kompilasi.
[7] Op.cit.
[8] A. Hanafi, Orientalisme
Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ),Jakarta:
Pustaka al Husna,
1981, hlm.18
[9] Komparasi pemikiran Sa’id dan
Mustofa al-A’zami dalam kritiknya terhadap orientalisme, akses November 18, 2012 jam : 5:28:24. Hlm. 3
[10] Op.cit. hlm. 18
[11] Op.cit. hlm. 4-5
[12] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran,
(Jakarta; Gema Insani Press, 2005), hlm. 107
[13] Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu
sampai Kompilasi, (terj.) (Jakarta: Gema
Insani Press, 2005),
hlm. 179
Tidak ada komentar:
Posting Komentar