Kamis, 21 Februari 2013

asbabul wurud



BAB I
PENDAHULUAN

Al Hadi#th  atau al Sunnah adalah merupakan salah satu sumber hukum Islam yang menduduki posisi penting baik secara struktural, maupun secara fungsional.
Secara Struktural al Hadi#th menduduki posisi kedua setelah al Qura#n.Secara fungsional, al Hadi#th merupakan baya#n (penjelas) terhadap ayat-ayat alQura#n yang bersifat ‘a#m (umum) dan mujma#l (global) sehingga dengan demikian sebagai umat Islam kita sangat berkepentingan untuk mengkaji dan  mempelajari Ilmual Hadi#th.
Secara garis besar Ilmu al Hadi#th dibagi menjadi dua yaitu Ilmu al Hadi#thRiwa#yah dan Ilmu al Hadi#th Dira#yahAsba#b al wuru#d merupakan cabang dari ilmu Hadi#th Riwa#yah.
Dalam mempelajari hadi#th, ada beberapa hal yang penting untuk dipelajari yaitu mempelajari dan mengetahui sebab-sebab lahirnya hadi#th. Karena dengan mempelajari sebab-sebab lahirnya hadi#th dapat membantu dalam memahami makna hadi#th secara sempurna. Sebagaimana halnya pengetahuan tentang Asba#b al Nuzu#l, dapat menolong untuk memahami makna ayat-ayat al  Qura#n. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa dengan mengetahui sebab dapat pula mengetahui musabab (akibat).
Asba#b al wuru#d ini menyingkap sebab-sebab timbulnya  al Hadi#th. Terkadang ada Hadi#th yang apabila tidak diketahui sebab timbulnya, akan menyebabkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.


BAB II
ILMU ASBA#AL WURU#D AL HADI#TH


Kata asba#b adalah bentuk jama’ dari sabab. Menurut ahli bahasa diartikan dengan al habl (tali), saluran, yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungkan satu benda dengan benda lainnya.
Menurut istilah adalah:
كل شيئ يتو صل به الى غايته
“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan.”
Ada juga yang mendefinisikan dengan suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apa pun dalam hukum itu.
Sedangkan kata wuru#d  bisa berarti sampai, muncul dan mengalir. Seperti: ”air yang memancar atau air yang mengalir”  الماء الذي يورد
Dalam pengertian yang lebih luas, al Suyuthi merumuskan pengertian asba#b wuru#d al hadi#th dengan sesuatu yang membatasi arti suatu hadi#th, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutla#q atau muqayyad, dinasakhkan dan seterusnya. Atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadi#th saat kemunculannya.
Dari uraian pengertian tersebut, asba#b wuru#d al hadi#th dapat diberi pengertian yakni suatu ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi saw menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu.
Ilmu asba#b wuru#d al hadi#th ini penting untuk diketahui, karena ilmu ini dapat menolong dalam memahami hadi#th, sebagaimana ilmu asba#b al nuzu#l dapat menolong dalam memahami al Qura#n. Sebagian ulama berpendapat bahwa sebab-sebab, latar belakang dan sejarah dikeluarkan hadi#th itu sudah tercakup dalam pembahasan ilmu Tarikh, karena itu tidak perlu dijadikan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Akan tetapi, karena ilmu ini mempunyai sifat-sifat yang khusus yang tidak seluruhnya tercakup dalam ilmu Tarikh dan mempunyai faedah yang besar sekali dalam lapangan ilmu hadi#th, maka kebanyakan Muhaddithi#n menjadikan ilmu itu suatu ilmu pengetahuan tersendiri, sebagai cabang ilmu hadi#th dari jurusan matan.

1.    Dasar-Dasar Kontekstualisasi
Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi menjadi sebuah keniscayaan. Menurut M. Sa’ad Ibrahim alasan-alasan tersebut adalah:
Masyarakat yang dihadapi Nabi SAW. bukan lingkungan yang sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran nas-nas yang menyebabkan sebagiannya bersifat tipikal.
Dalam keputusan Nabi sendiri telah memberikan gambaran hukum yang berbeda dengan alasan “situasi dan kondisi”. Misalnya tentang ziarah kubur, yang semula dilarang karena kekhawatiran terjebak pada kekufuran dan setelah dipandang masyarakat cukup mengerti diperbolehkan.
Peran sahabat sebagai pewaris Nabi yang paling dekat sekaligus memahami dan menghayati Nabi dengan risalah yang diembannya telah mencontohkan kontekstualisasi nas. Misalnya Umar, hukum talak tiga dalam sekali ucap yang asalnya jatuh satu talak menjadi jatuh tiga talak.
Implementasi pemahaman terhadap nas secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi alasan kehadiran Islam itu sendiri.
Keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di dalam teks yang terbatas tersebut memiliki dinamika internal yang sangat kaya  yang harus terus-menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi yang tepat.
2.    Macam-macam Asba#b al Wuru#d
Asba#b al Wuru#d dibagi menjadi dua yaitu:
Hadi#th yang mempunyai sebab disebuntukan dalam hadi#th itu sendiri. Misalnya hadi#th tentang al Qura#n turun dengan tujuh huruf (dialek).
صحيح البخاري - (ج 8 / ص 266) 2241 - حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَؤُهَا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْرَأَنِيهَا وَكِدْتُ أَنْ أَعْجَلَ عَلَيْهِ ثُمَّ أَمْهَلْتُهُ حَتَّى انْصَرَفَ ثُمَّ لَبَّبْتُهُ بِرِدَائِهِ فَجِئْتُ بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَأْتَنِيهَا فَقَالَ لِي أَرْسِلْهُ ثُمَّ قَالَ لَهُ اقْرَأْ فَقَرَأَ قَالَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ لِي اقْرَأْ فَقَرَأْتُ فَقَالَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ إِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مِنْهُ مَا تَيَسَّرَ
Abdullah bin Yusuf telah bercerita kepada saya, Malik telah menceritakan pada saya dari Ibn Syihab dari Urwah bin Zubair dari Abdur rahman bin Abdul Qari, dia berkata: “saya mendengar Umar bin Khathab berkata: “saya mendengar Hisyam bin Hakim bin Hisyam membaca surat al-Furqan dengan bacaan selain yang telah saya baca, padahal Rasulullah saw telah nenbacakan pada saya. Hampir saja saya bertindak terhadap Hisyam. Kemudia saya menunda tindakan saya sampai ia pulang ke rumahnya. Kemudian saya menyeret lengan bajunya untuk mendatangi Rasulullah saw bersamanya. Saya berkata pada Rasulullha saw : bahwa saya mendengar orang ini membaca ayat yang bukan seperti yang dibacakan Rasulullah. Kemudian Nabi memerintahkan saya “lepaskan orang tersebut”. Kemudian Nabi merkata kepada Hisyam :”bacalah”. Hisyam pun membaca. Kemudian nabi bersabda:”sesungguhmya al-Quran itu diturunkan dengan tujuh huruf (dialek), maka bacalah mana yang mudah daripadanya”.
2.            Hadith yang sebab tidak disebuntukan dalam hadith tersebut tetapi disebuntukan pada jalan (thuruq) hadith yang lain, misalnya : hadith yang menerangkan niat dan hijrah yang diriwayatkan oleh Umar ra.
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَوَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Saya mendengar Umar bin Khatthab berkata di atas mimbar: “saya mendengar Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu hanyalah menurut niatnya masing-masing. Maka barang siapa yang hijrahnya karena untuk mendapatkan keduniaan atau perempuan yang bakal dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya kepada apa yang diniatkannya saja.”.
Asbabu’l Wurud dari hadith tersebut di atas kita temukan pada hadith dibawah ini.
قال الزبير بن بكار في أخبار المدينة : حدثني محمد بن الحسن عن محمد بن طلحة ابن عبد الرحمن عن موسى بن محمد بن إبراهيم بن الحارث عن أبيه قال : لما قدم رسول الله صلى الله عيله وسلم المدينة وعك فيها أصحابه وقدم رجل فتزوج امرأة مهاجرة ، فجلس رسول الله صلى الله عليه وسلم على المنبر فقال : " يا أيها الناس إنما الأعمال بالنية ثلاثا فمن كانت هجرته الى الله ورسوله ، فهجرته الى الله ورسوله من كانت هجرته في دنيا يطلبها ، أو امرأة يخطبها فإنما هجرته إلى ما هاجر إليه ".
Az-Zubair bin Bakkar mengatakan di dalam kitab Akhbar al-Madinah , bahwa telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu al-Hasan, dari Muhammad ibn Talhah ibnu Abdur Rahman dari Musa ibnu Nuhammad ibnu Ibrahim ibn al Hari#th, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, sahaba-sahabatnya terserang penyakit demam di Madinah. Kemudian datanglah seorang laki-laki, lalu ia mengawini seorang perempuan muhajirah. Kemudian Rasulullah saw duduk di atas mimbarnya dan bersabda: “Hai manusia, sesungguhnya amal-amal perbuatan itu hanyalah menurut niatnya –sebanyak tiga kali-. Maka barangsiapa yang niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti dia berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang niat hijrahnya karena duniawi, maka dia akan mencarinya; atau karena wanita, maka dia akan melamarnya. Maka sesungguhnya hijrah seseorang itu hanyalah kepada apa yang dia niatkan dalam hijrahnya.”
Namun ada pula matan hadith yang timbul tanpa Sabab al Wurud atau timbul dengan sendirinya. Sebagaimana contoh:
عَنْ عَمْرو بْنِ عَوْفٍ اْلأَنْصَارِى رَضِى اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلأَنْصَارِ ذَاتَ يَوْمٍ: أَبْشِرُوا وَأَمِّـلُوا مَايَسُرُّكُمْ ، فَوَاللهِ مَا الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ ، وَلَكِنِّى أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَـا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، فَتَنَـافَسُوا كَمَا تَنَـافَسُوهَا ، فَتُهْلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Dari 'Amru Bin 'Auf Al Anshary, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda kepada orang-orang Anshar pada suatu hari: Bergembiralah kamu sekalian, nescaya kamu akan mendapati apa yang kamu inginkan; Demi Allah, bukanlah kefakiran yang lebih aku takuti (menimpa) kamu, tetapi aku takut (kalau) dunia ini dibentangkan keatas kamu (diberi kekayaan dan dimurahkan rezeki) sebagaimana dia telah dibentangkan keatas orang-orang sebelum kamu; maka kamupun berlumba-lumba (mencari) nya (dunia) sebagaimana mereka berlumba-lumba denganya, lalu duniapun memusnahkan kamu sebagaimana dia memusnahkan mereka. (Muttafaq 'Alaihi)
3.    Manfa’at Asbab wurud al hadis
Asbab Wurud al Hadis mempunyai manfa’at antara lain:
Untuk menolong memahami dan menafsirkan sebuah hadis.
Sering dijumpai lafadz nash hadis diungkapkan dalam bentuk umum, sehingga untuk memahaminya perlu dalil yang mentakhsisnya.
Untuk mengetahui hikmah ketentuan syari’at Islam.
Untuk mentakhsiskan hukum bagi yang berpedoman kaidah ushul fiqh Al ‘Ibrah bi khusus al sabab (mengambil suatu ibarat itu hendaknya dari sebab-sebab yang khusus).


Al Ustadz M. Ali Ishmah Amar ma’ruf nahi munkar adalah poros penting adalam agama walaupun hal itu sering disalahgunakan. Terkadang untuk kepentingan politik hawa nafsu dan lain-lain. Banyak para pemuda yang memiliki semangat untuk memperjuangkan Islam salah langkah dalam hal ini.
Dengan hanya berbekal sedikit ilmu dan besar semangat mereka menyeret umat Islam yang tidak berdosa kepada pertumpahan darah yang sia-sia. Mereka tidak mengerti adab-adab dan tingkat-tingkat beramar ma’ruf nahi munkar sehingga mereka justru mengaburkan makna amar ma’ruf nahi munkar.Hadith Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering digunakan dan salah ditafsirkan adalah:
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ:مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ                                                                          
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radalahiyallahu ‘anhu ia mengatakan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa di antara kalian melihat sebuah kemungkaran maka hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Jika ia belum sanggup maka hendaklah ia menggunakan lisannya. Jika ia masih belum sanggup maka hendaklah ia menggunakan hatinya.
Itu adalah selemah-lemah keimanan. {HR Muslim dalam Shahihnya no. 78-79 Turmudzi dalam Sunannya no. 2172 An-Nasa`i dalam Sunannya no. 5023-5024 Ahmad dalam Musnadnya 3/102049 Abu Dawud dalam Sunannya no. 1140 Ibnu Majah dalam Sunannya no. 1275 dan Abu Ya’la Al Mushuli dalam Musnadnya no. 1005 tahqiq Irsyadul Haq Al-Atsari. {An-Nadalahiyah fi takhrij ‘arba’in An-Nawawiyah}} . Syarah hadith-hadith ini adalah hadith ang sangat agung mengandung kewajiban beramar ma’ruf nahi munkar(1)  yang merupakan poros terbesar dalam agama ini. Allah mengutus para nabi dengan memikul kewajiban itu. Kalau hamparan amar ma’ruf nahi munkar digulung akan hancurlah agama ini. Timbullah kerusakan dan hancurlah negeri-negeri.(2) Berkenaan dengan asbabul wurud hadith ini dalam beberapa riwayat disebuntukan bahwa Marwan bin Al-Hakam bin Abil ‘Ash seorang khalifah Bani Umayah di Syam mendahulukan khutbah sebelum shalat pada hari Ied. Ketika itu seseorang berdiri seraya berkata: Shalat dulu kemudian khutbah. Maka Abu Sa’id mengomentari sikap orang tadi dengan ucapannya: Orang ini telah menunaikan kewajibannya karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.. .. dan seterusnya. Dalam riwayat lain disebuntukan bahwa yang melakukannya adalah Abu Sa’id sendiri. Beliau bercerita: Kaum muslimin terus dalam keadaan yang demikian hingga aku keluar bersama Marwan yang ketika itu menjabat amir kota Madinah di hari Idul Fithri atau Adalahha. Ketika kami sampai di lapangan ternyata di sana ada mimbar yang dibuat oleh Katsir bin Ash-Shalt. Kemudian ia bermaksud naik ke mimbar padahal belum shalat. Maka kutarik bajunya tetapi dia membalas menarik pula. Ketika sudah berada di atas dia berkhutbah sebelum shalat. Aku katakan kepadanya: Demi Allah engkau telah merubah. Marwan mengatakan lagi: Hai Abu Sa’id telah hilang apa yang engkau ketahui. Aku katakan lagi: Apa yang aku ketahui lebih baik daripada apa yang tidak kuketahui. Marwan menambahkan: Demi Allah sesungguhnya orang-orang ini tidak mau duduk mendengarkan kami setelah shalat maka aku berkhutbah sebelum shalat. (3)Imam An-Nawawi mengatakan: Dimungkinkan hal ini adalah dua peristiwa yang salah satunya adalah kisah Abu Sa’id sedang yang lainnya adalah kisah orang lain di hadapan Abu Sa’id.(4) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang hukum amar ma’ruf nahi munkar dalam Majmu’ Fatawa 28/126: Tidak wajib atas tiap person tertentu melainkan fardlu kifayah sebagaimana yang dinyatakan oleh al Qur`an. Adab-adab Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 123-129 secara ringkas mengatakan bahwa rukun-rukun amar ma’ruf nahi munkar ada empat:Rukun pertama pelaku amar ma’ruf seorang yang mukallaf(5)  muslim dan sanggup. Walaupun demikian seorang anak usia tamyiz(6)  juga dapat beramar ma’ruf nahi munkar dan akan mendapatkan pahala karenanya walaupun tidak wajib atasnya. Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa syarat seseorang beramar ma’ruf nahi munkar harus memiliki sifat ‘adalah dan mengatakan bahwa orang fasik tidak boleh beramar ma’ruf berdasarkan ayat:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ
Apakah kalian menyeru manusia berbuat kebaikan sedangkan kalian melupakan diri kalian. {Al- Baqarah: 44}
Tapi pernyataan ini tidak bisa dijadikan hujjah. Ada pula yang mensyaratkan si pelaku amar ma’ruf nahi munkar harus mendapatkan ijin dari imam atau penguasa sedangkan rakyat tidak boleh melakukannya. Pendapat ini keliru sebab ayat-ayat dan hadith-hadith secara umum menunjukkan bahwa tiap orang yang melihat kemungkaran kemudian mendiamkannya berarti dia bermaksiat. Maka pengkhususan harus dengan izin sang imam akan mempersulit.Yang mengherankan pula Rafidlah menambah dengan tidak boleh amar ma’ruf sebelum imam yang ma’ruf keluar. Bila mereka datang kepada hakim untuk meminta hak-hak mereka maka katakan kepada mereka: Permintaan tolong dan pengembalian hak-hak kalian berarti amar ma’ruf nahi munkar padahal masanya belum datang karena imam belum keluar.Amar ma’ruf nahi munkar memiliki lima tingkatan:1. Mengenalkan kebenaran.2. Nasehat dengan ucapan yang lembut.3. Cercaan dan makian. Yang kita maksud di sini bukan cercaan yang kotor melainkan kita katakan padanya seperti: Wahai jahil! Dungu! Apakah kamu tidak takut kepada Allah? Dan lain- lain.4. Mencegah dengan keras seperti menghancurkan alat-alat musik dan menumpahkan khamr.5. Ancaman dan hukuman dengan pukulan atau langsung dipukul sampai ia berhenti dari perbuatannya. Tingkatan yang kelima ini membutuhkan imam berbeda dengan yang sebelumnya sebab dikhawatirkan terseret kepada fitnah.Jika ada yang bertanya apakah boleh seorang anak beramar ma’ruf kepada ayahnya hamba kepada tuannya istri kepada suaminya atau rakyat kepada penguasa? Jawabnya: Pada asalnya hal itu boleh bagi semuanya dan sudah kita bawakan lima tingkatan tadi. Maka bagi anak tingkatannya adalah dengan mengenalkan kebenaran kemudian nasehat dengan lembut. Adapun tingkatan yang ketiga dan seterusnya selayaknya dilakukan oleh tuan kepada budak atau suami terhadap istri. Adapun rakyat kepada penguasa perkaranya lebih keras dari anak tidak ada kewajiban bagi rakyat kecuali dengan pengenalan dan nasehat.Disyaratkan juga si pelaku itu sanggup untuk mengingkari. Adapun yang lemah tidak ada kewajiban baginya kecuali mengingkari dengan hati. Tidak gugur kewajiban ini bagi yang lemah tubuhnya melainkan karena dikhawatirkannya dia terkena gangguan. Itulah makna kelemahan di sini.Begitu pula bila dia tahu bahwa pengingkarannya diduga tidak bermanfaat maka terbagi dalam 4 keadaan:1. Bila dia tahu kalau kemungkaran itu bisa lenyap dengan ucapan atau perbuatannya tanpa ia terkena bahaya maka wajib baginya untuk melakukannya.2. Bila dia tahu bahwa ucapannya tidak bermanfaat dan apabila dia berbicara akan dipukul maka gugurlah kewajiban atasnya.3. Bila dia tahu bahwa ucapannya tidak bermanfaat tetapi dia tidak khawatir terkena bahaya maka tidak wajib baginya karena tidak bermanfaat. Akan tetapi hal itu disukai untuk menunjukkan syiar-syiar Islam dan untuk mengingatkan manusia kepada agama.4. Bila dia tahu bahwa dia akan terkena bahaya tetapi kemungkaran tersebut akan hilang dengan sikapnya seperti menghancurkan alat-alat musik atau menumpahkan khamr padahal dia tahu bahwa dia akan dipukul setelah itu maka kewajiban gugur darinya dan hukumnya tinggal mustahab berdasarkan sabda Nabi:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling utama adalah ucapan yang benar yang disampaikan di hadapan penguasa yang jahat. {HR. Abu Said Abu Umamah Thariq bin Syihab Jabir bin Abdullah dan Suhri secara mursal lebih rinci lihat Ash-Shahihah no. 491
Tidak terjadi perselisihan tentang bolehnya seorang muslim menyerang barisan orang kafir walau akhirnya dia harus mati. Tapi bila dia tahu dia tidak bisa mengalahkan orang kafir seperti orang buta mencampakkan dirinya ke tengah-tengah musuh maka haram hukumnya. Begitu pula bila dia melihat seorang fasiq yang minum khamr dan di tangannya ada pedang dan dia tahu kalau dia melarang minum khamr dia akan dibunuh maka tidak boleh baginya untuk melakukannya.
Karena hal ini tidak memberi pengaruh yang bisa memberi manfaat. Hanya disukai baginya untuk mengingkari bila dia sanggup untuk menghapuskan kemungkaran tersebut. Dan tumbuh manfaat dengan sikapnya itu seperti orang yang menyerang barisan orang-orang kafir dan lain-lain. Jika dia tahu bila teman-temannya juga akan terkena bahaya maka tidak boleh baginya untuk melakukannya karena dia tidak kuat untuk menolak kemungkaran itu kecuali dengan menyeret kemungkaran yang lain. Hal itu tidak dianggap mampu sedikitpun. Dan yang dimaksudkan dengan tahu di sini adalah perkiraan kuat. Siapa yang mengira dengan kuat bahwa dia akan terkena bahaya maka tidak wajib baginya untuk mengingkari. Jika kuat perkiraannya bahwa dia tidak akan terkena bahaya maka wajib baginya melakukannya. Bukan pengecut atau pemberani yang berlebihan tetapi dinilai dengan tabiat yang wajar. Yang dimaksud dengan bahaya di sini adalah seperti pemukulan atau pembunuhan. Begitu juga perampasan harta atau diumumkan di negeri itu sebagai orang jelek. Adapun penghinaan dan cercaan maka tidak menjadi alasan untuk diam sebab orang yang beramar ma’ruf biasanya akan menemui hal itu. {Masih dalam Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin}Rukun kedua kemungkaran itu ada ketika itu dengan jelas . Makna mungkar adalah dilarang dilakukan menurut syariat(7). Mungkar lebih umum daripada maksiat. Bila seseorang melihat anak kecil atau orang gila meminum khamr maka wajib baginya untuk menumpahkan dan melarangnya. Begitu juga bila lelaki gila berzina dengan wanita gila atau dengan hewan maka wajib baginya untuk mencegah. Kata ada ketika itu berarti bukan terhadap orang yang telah selesai meminum khamr atau sejenisnya. Dan juga bukan terhadap apa yang akan didapati dalam keadaan lain seperti orang yang mengetahui melalui tanda-tanda bahwa ada yang ingin minum di malam hari. Tidak ada amar ma’ruf terhadap orang tersebut kecuali dengan nasehat. Kata dengan jelas berarti orang yang melakukan maksiat tidak dengan sembunyi-sembunyi di rumahnya dan mengunci pintunya. Orang yang bermaksiat dengan sembunyi-sembunyi tidak boleh dimata-matai kecuali sampai diketahui oleh orang yang di luar rumah seperti suara alat- alat musik. Bagi orang yang mendengarkannya hendaknya masuk dan menghancurkannya. Atau jika keluar bau khamr menurut pendapat yang benar boleh diingkari. Juga disyariatkan dalam mengingkari kemungkaran harus benar-benar diketahui bahwa hal itu mungkar bukan termasuk perkara ijtihad. Setiap yang masih dalam hal ijtihad tidak dikenai hal ini. Rukun ketiga syarat orang yang diingkari. Cukup dengan sifatnya sebagai manusia. Tidak disyaratkan orang tersebut harus mukallaf dulu sebagaimana yang telah kita jelaskan tadi maka seperti terhadap anak-anak dan orang-orang gila tetap diingkari. Rukun keempat tentang amar ma’ruf itu sendiri. Hal ini memiliki beberapa tingkat dan adab:1. Si pelaku amar ma’ruf memang mengetahuinya tidak boleh baginya untuk mencari pendengaran dari rumah yang lain untuk mendengar suara musik atau sengaja mengendus bau khamr. Atau menyentuh sesuatu yang telah ditutup dengan pakaian agar ia tahu apa yang ada di dalamnya. Atau mencari-cari kabar kepada para tetangganya agar diberi tahu apa yang terjadi.
Tetapi apabila ia diberi tahu oleh dua orang yang adil bahwa si A meminum khamr maka ketika itu dia boleh masuk dan mengingkari.2. Mengenalkan kebenara karena ada orang yang dengan jahil melakukan sesuatu karena menganggap perbuatan itu tidak mungkar dan bila dia tahu dia akan meninggalkannya. Maka wajib memberitahukannya dengan lembut. Katakan kepadanya: Memang manusia ketika lahir tidak langsung menjadi orang yang tahu. Kita tidak mengetahui tentang masalah agama sampai para ulama mengajari kita. Karena mungkin juga temanmu itu jauh dari para ulama. Bersikap lembutlah kepadanya agar dia mengerti tanpa menyakitinya. Barangsiapa diam ketika melihat kemungkaran dengan alasan tidak mau menyakiti sesama muslim padahal dia harus berbicara, maka hal ini sama dengan mencuci darah dengan air seni.(8)3. Melarang dengan nasehat dan menyuruhnya takut kepada Allah dengan menyampaikan kabar- kabar yang berisi ancaman. Ceritakan kepadanya kisah-kisah para salaf. Lakukan hal itu dengan rasa kasih sayang dan lembut tanpa perlu mencaci dan emosi. Di sini banyak terjadi kekeliruan yang harus dijaga yaitu seseorang yang tahu ketika menasehati menganggap dirinya paling mulia karena dia tahu kemudian merendahkan lawan bicara karena tidak tahu. Hal itu sama dengan seseorang yang ingin menyelamatkan orang lain dengan membakar dirinya ke dalam api. Ini adalah kebodohan yang sangat kehinaan yang hebat dan tipuan setan. Maka dibutuhkan barometer agar seyogyanya pelaku amar ma’ruf tadi menguji dirinya. Yaitu dengan mengingkari kemungkaran terhadap dirinya sendiri. Jika ternyata dia mengikuti hawa nafsunya bertujuan agar terkenal melalui amar ma’rufnya tadi maka hendaklah ia takut kepada Allah dan mengintrospeksi dirinya dahulu. Dikisahkan ada yang bertanya kepada Daud At-Tha’i: Bagaimana pendapat anda terhadap seseorang yang menemui para umara kemudian menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar? Daudmenjawab Aku khawatir dia akan dicambuk. Penanya: Dia sanggup untuk menghadapinya. Daud: Aku khawatir dia akan terkena pedang. Penanya: Ia sanggup. Daud: Aku takut dia terkena penyakit yang berbahaya yaitu ‘ujub {bangga terhadap dirinya sendiri}. 4. Cercaan dan makian dengan ucapan yang keras dan menusuk. Cara ini dipilih bila tidak bisa dicegah dengan lembut dan menunjukkan sikap mengejek peringatan dan nasehat serta terus melakukan perbuatan tersebut. Yang kita maksudkan di sini bukan dicerca dengan ucapan yang mengandung kekejian dan dusta. Tapi katakan kepadanya: Hai fasiq dungu bodoh apakah kamu tidak takut kepada Allah? Allah berfirman tentang Nabi Ibrahim:
أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
Ah celaka kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah. Apakah kalian tidak berakal? {Al- Anbiya`: 67}5.
Merubah dengan tangan seperti menghancurkan alat-alat musik menumpahkan khamr dan mengusir penghuni rumah curian dari rumah tersebut. Tingkatan ini memiliki 2 adab:a. Jangan langsung mengadakan perubahan selama orang yang diingkari sanggup untuk memikul hal tersebut bila dia mau pergi dari tempat yang dirampasnya tidak perlu sampai menyeretnya.b. Menghancurkan alat musik itu sampai benar-benar tidak bisa dipergunakan lagi. Jangan lebih dari itu. Dan berhati-hati ketika menumpahkan khamr agar jangan sampai memecah bejana- bejana lain jika mungkin. Jika dia tidak sanggup untuk itu kecuali harus dengan melempar bejana itu dengan batu atau yang sejenis itu boleh baginya. Dengan itu akan hilang harga bejana itu.
Kalau dia menutup-nutupi khamr dengan tangannya dan hanya bisa dijalankan dengan jalan tangan si pemilik juga dipukul maka tidak mengapa. Bila khamr berada dalam bejana yang mulutnya kecil yang bila ditumpahkan akan memakan waktu yang lama dan dia akan ditemui pemiliknya kemudian dicegah maka hendaklah dia memecahkannya. Ini dianggap udzur. Jika ada pertanyaan: Apakah boleh memecahkannya dengan paksa dan menarik penghuni untuk meninggalkan rumah dengan paksa? Jawabnya: Itu boleh untuk penguasa. Tidak untuk rakyat karena tidak adanya segi ijtihad dalam hal itu.6. Dengan ancaman seperti: Tinggalkan perbuatan ini kalau tidak saya akan buat kamu jadi begini dan begitu! Jika perlu untuk dipukul tidak mengapa.Adab dalam hal ini adalah jangan mengancam dengan ancaman yang tidak boleh dilakukan seperti: Akan kuhancurkan rumahmu dan kuculik istrimu. Jika dia mengucapkan dengan sungguh-sungguh maka haram hukumnya. Jika tidak berarti dusta.7. Langsung memukul dan menendang dan lain-lain selain senjata. Itu boleh bagi perorangan dengan syarat terpaksa dan seperlunya. Jika kemungkaran itu sudah lenyap selayaknya dihentikan.8. Dia tidak sanggup sendiri dan membutuhkan teman dengan mengangkat senjata karena kadang-kadang si pelaku juga memiliki teman-teman yang menjurus kepada peperangan. Yang benar dalam hal ini butuh kepada ijin Imam karena menjurus kepada fitnah dan kerusakan. Dan ada juga yang menyatakan tidak perlu ijin. {Selesai ucapan Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin}Tentang Sifat si Pelaku Amar Ma’rufDi atas sudah disebuntukan adab-adab pelaku amar ma’ruf dengan rinci. Dan kesimpulannya ada tiga sifat:1. Ilmu tentang amar ma’ruf dan batas-batasnya agar berada dalam batas syariat(9).2. Wara’ karena dia kadang-kadang tahu tentang sesuatu tetapi tidak mengamalkannya karena suatu hal.3. Baik akhlak. Ini dasar agar bisa menahan akibat. Karena kemarahan bila bergejolak tidak bisa ditahan dengan semata-mata ilmu dan wara’ dalam memadamkannya selama tidak ada baik akhlak secara tabiat.Sebagian para salaf berkata: Jangan seseorang menyuruh kepada yang ma’ruf kecuali dengan lembut dan juga ketika melarang. Kasih sayang ketika menyuruh dan melarang. Paham dalam menyuruh dan melarang. Bersikap lembut dalam beramar ma’ruf itu jelas. Berdasarkan ayat :
فَقُوْلاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Katakan kepadanya perkataan yang lembut.
 Pernah seorang pemuda lewat dalam keadaan menyeret pakaiannya maka teman-teman Shilah bin Usyaim mencercanya dengan keras. Maka Shilah berkata: Biarkanlah aku menyelesaikannya. Kemudian Shilah berkata kepada pemuda itu: Wahai anak saudaraku aku ada perlu sedikit denganmu. Pemuda itu berkata: Apa itu? Shilah: Aku ingin agar engkau meninggikan sarungmu. Pemuda: Baiklah kalau begitu. Maka pemuda itu pun mengangkat sarungnya. Kemudian Shilah beralih kepada rekan-rekannya dan berkata: Bukankah ini yang kalian maukan. Jika kalian mencacinya dan menyakiti dia akan membalas kalian. Beberapa Tujuan dalam Beramar Ma’ruf Ibnu Rajab dalam Iqadhul Himam hal. 465 berkata: Ketahuilah bahwa beramar ma’ruf dan nahi munkar kadang-kadang karena mengharap pahala dosa jika ditinggalkan kemarahan Allah karena larangan-Nya dilanggar menasehati kaum muslimin dan kasih sayang kepada mereka mengharap mereka terlepas dari dosa-dosa yang akibatnya mereka akan terkena hukuman Allah di dunia dan akhirat. Dan juga karena memuliakan dan mencintai Allah karena Dia yang paling berhak untuk ditaati diingat dan tidak dilupakan disyukuri dan tidak dikufuri. Dan menebus dengan jiwa dan harta terhadap kehormatan Allah yang dilanggar sebagaimana yang diucapkan oleh sebagian salaf: ‘Aku ingin agar semua manusia taat kepada Allah walau dagingku harus digunting.’ Dalam amar ma’ruf nahi munkar ada sekelompok orang yang meninggalkannya sama sekali. Ada yang tidak mengetahui patokan dan batas-batasnya hingga bertindak melampaui batas.
Beberapa faedah yang dapat dipetik dari pembahasan ini adalah:1. Amar ma’ruf nahi munkar termasuk bagian dari iman. Oleh sebab itu Imam Muslim memasukkan dalam kitabul iman.2. Siapa yang sanggup untuk melaksanakan bagian-bagian itu lebih baik dari yang meninggalkannya karena lemah walau diberi udzur.3. Siapa yang khawatir terhadap dirinya akan dipukul dibunuh atau dirampas hartanya maka gugur kewajiban darinya dengan tangan dan lisan tapi wajib mengingkari dengan hati.
Barangsiapa yang hatinya tidak mengingkari yang mungkar berarti telah lenyap keimanan darinya.4. Sangat perlunya kita melihat contoh dari para salaf dalam memahami hadith ini agar tidak salah paham.5. Harus berilmu hingga tahu mana yang harus disikapi dengan keras dan lembut agar jangan terbalik. Hal ini menunjukkan pentingnya ilmu dan bimbingan para ulama.Wallahu a’lam bish shawab.

5.    Ulama yang menyusun kitab tentang asbab al wurud.
Ulama yang mula-mula menyusun kitab ini, yang ada kitabnya dalam masyarakat, ialah Abu hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn Raja Al ‘Ukbary, dari murid Ahmad (380-456H)., Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Kamaluddin, yang lebih dikenal dengan Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy (1054-1120H) dengan karyanya Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadith Al-Syarif.



BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Asbab wurud al hadis dapat diberi pengertian yakni suatu ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi saw menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu.
Asbab wurud al hadith ada dua yaitu sebab yang langsung disebuntukan dalam hadis itu sendiri dan tidak langsung, maksudnya sebab disebuntukan dalam hadis lain.
Mengetahu asbab wurud al-hadith sangat penting, karena dengan mengetahui asbab wurud al-hadith orang tidak akan salah dalam memahami hadis. Disamping itu bisa memperjelas maksud hadis yang sesuai dengan konteksnya.


DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahnya(terjemah DEPAG),Toha Putra, Semarang
Abu baker, Bahrun. Tarjamah Al-Luma’ fi Asbab al-Wurud. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005.
Ibrahim, M. Sa’ad. Orisinalitas dan Perubahan Dalam Ajaran Islam, dalam Jurnal At-Tahrir, Vol. 4, 2 Juli 2004
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadis, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Saputra, Munzir. Ilmu Hadis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
Wijaya , Suwarta, Salim, Safrullah. Asbabul Wurud. Jakarta: Kalam Mulia, 2006,
An-Naisaburi, Muslim bin Al-Hajjaj.Shahih Muslim, Dahlan, tt.
Muhammad bin Isa, Abu Isa. Sunan Turmudzi, Darul Kutub ‘Ilmiyah, tahqiq Ahmad Syakir, tt.
Ahmad bin Syu’aib. Sunan Nasa`i. Darul Ma’rifah cet. II 1412 H-1992 M.
Ahmad bin Hambal. Musnad Ahmad, Darul Kutub Ilmiyah cet. I 1413 H-1993 M.
As-Sijistani, Sulaiman bin Al-Asy’ats. Sunan Abu Daud, Darul Fikr, Tahqiq: Shidqi M. Jamil. 1414 H – 1994 M.
Muhammad bin Yazid bin Majah. Sunan Ibnu Majah, Darul Rayyan Lit Turats, Tahqiq: M. Fuad Abdul Baqi tanpa tahun.
At-Tamimi, Ahmad bin Ali. Musnad Abu Ya’la, Darul Qiblat, tahqiq: Irsyadul Haq Al- Atsari cet. I 1408 H – 1988 M.
Nadhim Sulthan. Qawa’id wal Fawa’id , Darul Hijrah cet. II 1410 H.
Imam Ibnu Qudamah. Mukhtashar Minhajul Qashidin, Al-Maktab Al-Islami cet. VII, Tahqiq: Zuhair Syawais. Tt.
Al-Asqalani, Imam Ahmad bin Ali bin Hajar. Fathul Bari, Darud Diyan Lit Turats Isyraf Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib Muhammad Fu’ad Abdul Baqi dan Qushay Muhibbuddin Al- Khatib cet. II.
An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. Syarh An-Nawawi, I’dad Ali Abdul Hamid: Darul Khair cet. II 1414 H – 1994 M.
Ibnu Taimiyah, Syaikhul Islam. Majmu’ Fatawa, Jam’u wat Tartib Abdurrahman bin Muhammad Isyraf Ar-Riyasatul Ammah Li Syu’inil Haramain, tt.
Ali Hasan. Al-Ashalah, Dhawabith cet. I 1414 H – 1994 M.
Al-Albani, M. Nashiruddin. Silsilah Al-Ahadith Ash-Shahihah Al-Maktabah Al-Ma’arif 1415 H – 1995 M.
Al-Hilali, Salim. Iqadhul Himam, Darul Ibnul Jauzi 1414 H – 1993 M.
Majalah Salafy edisi XXV/1418 H/1998 M
Rubrik Nasehati(1) Qawaid wa Fawaid Nadhim Sulthan hal. 285(2) Mukhtashar Minhajul Qashidin Ibnu Qudamah hal. 131(3) Fathul Bari 3/102(4) Syarah An-Nawawi 1/217(5) Mukallaf adalah seorang dewasa yang sudah dikenai beban syari’at(6) Tamyiz adalah seorang anak yang sudah mulai dapat membedakan dan berpikir benar(7) Makna ini sebagai bantahan terhadap pernyataan Syafi’i Ma’arif dalam majalah Suara Muhammadiyah no. 01/02 th ke 83 hal. 20 sebagai berikut: Definisi ma’ruf adalah sesuatu yang dikenal baik dan diterima oleh akal maupun masyarakat. Sedangkan munkar adalah sesuatu yang ditolak oleh akal sehat. (8) Yakni maunya membersihkan tetapi dengan sesuatu yang lebih jelek dan lebih najis.(9) Hal ini sangat penting karena jika tanpa ilmu niatnya yang baik tidak akan tercapai karena salah dalam penerapan. Yang seharusnya disikapi dengan keras dia sikapi dengan lembut atau sebaliknya.


Tidak ada komentar: