BAB I
PENDAHULUAN
Al Hadi#th atau al Sunnah adalah merupakan salah satu sumber
hukum Islam yang menduduki posisi penting baik secara struktural, maupun secara
fungsional.
Secara
Struktural al Hadi#th menduduki posisi kedua setelah al
Qura#n.Secara fungsional, al Hadi#th merupakan baya#n (penjelas)
terhadap ayat-ayat alQura#n yang bersifat ‘a#m (umum)
dan mujma#l (global) sehingga dengan demikian sebagai umat
Islam kita sangat berkepentingan untuk mengkaji
dan mempelajari Ilmual Hadi#th.
Secara garis
besar Ilmu al Hadi#th dibagi menjadi dua yaitu Ilmu al
Hadi#thRiwa#yah dan Ilmu al Hadi#th Dira#yah. Asba#b
al wuru#d merupakan cabang dari ilmu Hadi#th Riwa#yah.
Dalam mempelajari
hadi#th, ada beberapa hal yang penting untuk dipelajari yaitu mempelajari dan
mengetahui sebab-sebab lahirnya hadi#th. Karena dengan mempelajari sebab-sebab
lahirnya hadi#th dapat membantu dalam memahami makna hadi#th secara sempurna.
Sebagaimana halnya pengetahuan tentang Asba#b al Nuzu#l, dapat
menolong untuk memahami makna ayat-ayat al Qura#n.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa dengan mengetahui sebab
dapat pula mengetahui musabab (akibat).
Asba#b al wuru#d ini menyingkap sebab-sebab timbulnya al Hadi#th.
Terkadang ada Hadi#th yang apabila tidak diketahui sebab timbulnya, akan
menyebabkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.
BAB II
ILMU ASBA#B AL WURU#D AL HADI#TH
Kata asba#b adalah
bentuk jama’ dari sabab. Menurut ahli bahasa
diartikan dengan al habl (tali), saluran, yang artinya
dijelaskan sebagai segala yang menghubungkan satu benda dengan benda lainnya.
Menurut istilah adalah:
كل شيئ يتو صل به الى غايته
“Segala sesuatu yang mengantarkan pada
tujuan.”
Ada juga yang
mendefinisikan dengan suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya
pengaruh apa pun dalam hukum itu.
Sedangkan kata wuru#d bisa
berarti sampai, muncul dan mengalir. Seperti: ”air yang memancar atau air yang
mengalir” الماء الذي يورد
Dalam pengertian yang
lebih luas, al Suyuthi merumuskan pengertian asba#b wuru#d al hadi#th dengan
sesuatu yang membatasi arti suatu hadi#th, baik berkaitan dengan arti umum atau
khusus, mutla#q atau muqayyad, dinasakhkan dan
seterusnya. Atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadi#th saat
kemunculannya.
Dari uraian pengertian
tersebut, asba#b wuru#d al hadi#th dapat diberi pengertian
yakni suatu ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi saw
menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu.
Ilmu asba#b
wuru#d al hadi#th ini penting untuk diketahui, karena ilmu ini dapat
menolong dalam memahami hadi#th, sebagaimana ilmu asba#b al nuzu#l dapat
menolong dalam memahami al Qura#n. Sebagian ulama berpendapat bahwa
sebab-sebab, latar belakang dan sejarah dikeluarkan hadi#th itu sudah tercakup
dalam pembahasan ilmu Tarikh, karena itu tidak perlu dijadikan suatu ilmu yang
berdiri sendiri. Akan tetapi, karena ilmu ini mempunyai sifat-sifat yang khusus
yang tidak seluruhnya tercakup dalam ilmu Tarikh dan mempunyai faedah yang
besar sekali dalam lapangan ilmu hadi#th, maka kebanyakan Muhaddithi#n menjadikan
ilmu itu suatu ilmu pengetahuan tersendiri, sebagai cabang ilmu hadi#th dari
jurusan matan.
1. Dasar-Dasar
Kontekstualisasi
Ada
beberapa alasan mengapa kontekstualisasi menjadi sebuah keniscayaan. Menurut M.
Sa’ad Ibrahim alasan-alasan tersebut adalah:
Masyarakat
yang dihadapi Nabi SAW. bukan lingkungan yang sama sekali kosong dari
pranata-pranata kultural yang tidak
dinafikan semuanya oleh kehadiran nas-nas yang menyebabkan sebagiannya bersifat
tipikal.
Dalam
keputusan Nabi sendiri telah memberikan gambaran hukum yang berbeda dengan
alasan “situasi dan kondisi”. Misalnya tentang ziarah kubur, yang semula
dilarang karena kekhawatiran terjebak pada kekufuran dan setelah dipandang
masyarakat cukup mengerti diperbolehkan.
Peran
sahabat sebagai pewaris Nabi yang paling dekat sekaligus memahami dan
menghayati Nabi dengan risalah yang diembannya telah mencontohkan
kontekstualisasi nas. Misalnya Umar, hukum talak
tiga dalam sekali ucap yang asalnya jatuh satu talak menjadi jatuh tiga talak.
Implementasi
pemahaman terhadap nas secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan
kemaslahatan yang justru menjadi alasan kehadiran Islam itu sendiri.
Keyakinan
bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku
sepanjang masa, mengandung makna bahwa di dalam teks yang terbatas tersebut
memiliki dinamika internal yang sangat kaya yang harus terus-menerus
dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi yang tepat.
2. Macam-macam Asba#b al Wuru#d
Asba#b al
Wuru#d dibagi
menjadi dua yaitu:
Hadi#th
yang mempunyai sebab disebuntukan dalam hadi#th
itu sendiri. Misalnya hadi#th tentang
al Qura#n turun dengan tujuh huruf (dialek).
صحيح البخاري -
(ج 8 / ص 266) 2241 - حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ
عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ
أَنَّهُ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ سَمِعْتُ هِشَامَ
بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا
أَقْرَؤُهَا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَقْرَأَنِيهَا وَكِدْتُ أَنْ أَعْجَلَ عَلَيْهِ ثُمَّ أَمْهَلْتُهُ حَتَّى
انْصَرَفَ ثُمَّ لَبَّبْتُهُ بِرِدَائِهِ فَجِئْتُ بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ عَلَى غَيْرِ مَا
أَقْرَأْتَنِيهَا فَقَالَ لِي أَرْسِلْهُ ثُمَّ قَالَ لَهُ اقْرَأْ فَقَرَأَ قَالَ
هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ لِي اقْرَأْ فَقَرَأْتُ فَقَالَ هَكَذَا
أُنْزِلَتْ إِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مِنْهُ
مَا تَيَسَّرَ
Abdullah bin Yusuf telah
bercerita kepada saya, Malik telah menceritakan pada saya dari Ibn Syihab dari
Urwah bin Zubair dari Abdur rahman bin Abdul Qari, dia berkata: “saya mendengar
Umar bin Khathab berkata: “saya mendengar Hisyam bin Hakim bin Hisyam membaca
surat al-Furqan dengan bacaan selain yang telah saya baca, padahal Rasulullah
saw telah nenbacakan pada saya. Hampir saja saya bertindak terhadap Hisyam.
Kemudia saya menunda tindakan saya sampai ia pulang ke rumahnya. Kemudian saya
menyeret lengan bajunya untuk mendatangi Rasulullah saw bersamanya. Saya
berkata pada Rasulullha saw : bahwa saya mendengar orang
ini membaca ayat yang bukan seperti yang dibacakan Rasulullah. Kemudian Nabi
memerintahkan saya “lepaskan orang tersebut”. Kemudian Nabi merkata kepada
Hisyam :”bacalah”. Hisyam pun membaca. Kemudian nabi bersabda:”sesungguhmya
al-Quran itu diturunkan dengan tujuh huruf (dialek), maka bacalah mana yang
mudah daripadanya”.
2. Hadith yang sebab
tidak disebuntukan dalam hadith tersebut tetapi disebuntukan pada jalan
(thuruq) hadith yang lain, misalnya : hadith yang menerangkan niat dan hijrah
yang diriwayatkan oleh Umar ra.
حَدَّثَنَا
الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَوَقَّاصٍ
اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا
أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Saya mendengar Umar bin Khatthab
berkata di atas mimbar: “saya mendengar Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya
amal-amal perbuatan itu hanyalah menurut niatnya masing-masing. Maka barang
siapa yang hijrahnya karena untuk mendapatkan keduniaan atau perempuan yang
bakal dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya kepada apa yang diniatkannya
saja.”.
Asbabu’l Wurud dari hadith
tersebut di atas kita temukan pada hadith dibawah ini.
قال الزبير بن
بكار في أخبار المدينة : حدثني محمد بن الحسن عن محمد بن طلحة ابن عبد الرحمن عن
موسى بن محمد بن إبراهيم بن الحارث عن أبيه قال : لما قدم رسول الله صلى الله عيله
وسلم المدينة وعك فيها أصحابه وقدم رجل فتزوج امرأة مهاجرة ، فجلس رسول الله صلى
الله عليه وسلم على المنبر فقال : " يا أيها الناس إنما الأعمال بالنية ثلاثا فمن كانت هجرته
الى الله ورسوله ، فهجرته الى الله ورسوله من كانت هجرته في
دنيا يطلبها ، أو امرأة يخطبها فإنما هجرته إلى ما هاجر إليه ".
Az-Zubair bin Bakkar mengatakan
di dalam kitab Akhbar al-Madinah , bahwa telah menceritakan
kepadaku Muhammad ibnu al-Hasan, dari Muhammad ibn Talhah ibnu Abdur Rahman
dari Musa ibnu Nuhammad ibnu Ibrahim ibn al Hari#th, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah
saw tiba di Madinah, sahaba-sahabatnya terserang penyakit demam di Madinah.
Kemudian datanglah seorang laki-laki, lalu ia mengawini seorang perempuan
muhajirah. Kemudian Rasulullah saw duduk di atas mimbarnya dan bersabda:
“Hai manusia, sesungguhnya amal-amal perbuatan itu hanyalah menurut niatnya
–sebanyak tiga kali-. Maka barangsiapa yang niat hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya, berarti dia berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa
yang niat hijrahnya karena duniawi, maka dia akan mencarinya; atau karena
wanita, maka dia akan melamarnya. Maka sesungguhnya hijrah seseorang itu
hanyalah kepada apa yang dia niatkan dalam hijrahnya.”
Namun ada pula matan hadith yang
timbul tanpa Sabab al Wurud atau timbul dengan sendirinya.
Sebagaimana contoh:
عَنْ عَمْرو بْنِ
عَوْفٍ اْلأَنْصَارِى رَضِى اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلأَنْصَارِ ذَاتَ يَوْمٍ:
أَبْشِرُوا وَأَمِّـلُوا مَايَسُرُّكُمْ ، فَوَاللهِ مَا الْفَقْرُ أَخْشَى
عَلَيْكُمْ ، وَلَكِنِّى أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَـا عَلَيْكُمْ كَمَا
بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، فَتَنَـافَسُوا كَمَا تَنَـافَسُوهَا ،
فَتُهْلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Dari 'Amru Bin 'Auf Al Anshary,
sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda kepada orang-orang Anshar pada suatu hari:
Bergembiralah kamu sekalian, nescaya kamu akan mendapati apa yang kamu
inginkan; Demi Allah, bukanlah kefakiran yang lebih aku takuti (menimpa) kamu,
tetapi aku takut (kalau) dunia ini dibentangkan keatas kamu (diberi kekayaan
dan dimurahkan rezeki) sebagaimana dia telah dibentangkan keatas orang-orang
sebelum kamu; maka kamupun berlumba-lumba (mencari) nya (dunia) sebagaimana
mereka berlumba-lumba denganya, lalu duniapun memusnahkan kamu sebagaimana dia
memusnahkan mereka. (Muttafaq 'Alaihi)
3. Manfa’at Asbab wurud al hadis
Asbab Wurud al Hadis mempunyai manfa’at
antara lain:
Untuk menolong memahami dan menafsirkan
sebuah hadis.
Sering dijumpai lafadz nash hadis
diungkapkan dalam bentuk umum, sehingga untuk memahaminya perlu dalil yang
mentakhsisnya.
Untuk mengetahui hikmah ketentuan syari’at
Islam.
Untuk mentakhsiskan hukum bagi yang
berpedoman kaidah ushul fiqh Al ‘Ibrah bi khusus al sabab (mengambil
suatu ibarat itu hendaknya dari sebab-sebab yang khusus).
Al Ustadz M. Ali
Ishmah Amar ma’ruf nahi munkar adalah poros
penting adalam agama walaupun hal itu sering disalahgunakan. Terkadang untuk
kepentingan politik hawa nafsu dan lain-lain. Banyak para pemuda yang memiliki
semangat untuk memperjuangkan Islam salah langkah dalam hal ini.
Dengan hanya berbekal
sedikit ilmu dan besar semangat mereka menyeret umat Islam yang tidak berdosa
kepada pertumpahan darah yang sia-sia. Mereka tidak mengerti adab-adab dan
tingkat-tingkat beramar ma’ruf nahi munkar sehingga mereka justru mengaburkan
makna amar ma’ruf nahi munkar.Hadith Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang sering digunakan dan salah ditafsirkan adalah:
عَنْ أَبِي
سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه
و سلم يَقُوْلُ:مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ
أَضْعَفُ
اْلإِيْمَانِ
Dari Abu Sa’id
Al-Khudri radalahiyallahu ‘anhu ia mengatakan: Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa di antara kalian melihat
sebuah kemungkaran maka hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Jika ia
belum sanggup maka hendaklah ia menggunakan lisannya. Jika ia masih belum sanggup
maka hendaklah ia menggunakan hatinya.
Itu adalah
selemah-lemah keimanan. {HR Muslim dalam Shahihnya no. 78-79 Turmudzi dalam
Sunannya no. 2172 An-Nasa`i dalam Sunannya no. 5023-5024 Ahmad dalam Musnadnya
3/102049 Abu Dawud dalam Sunannya no. 1140 Ibnu Majah dalam Sunannya no. 1275
dan Abu Ya’la Al Mushuli dalam Musnadnya no. 1005 tahqiq Irsyadul Haq Al-Atsari. {An-Nadalahiyah fi takhrij ‘arba’in An-Nawawiyah}} .
Syarah hadith-hadith ini adalah hadith ang sangat agung mengandung kewajiban
beramar ma’ruf nahi munkar(1) yang merupakan poros terbesar dalam agama ini. Allah mengutus para
nabi dengan memikul kewajiban itu. Kalau hamparan amar ma’ruf nahi munkar
digulung akan hancurlah agama ini. Timbullah kerusakan dan hancurlah
negeri-negeri.(2) Berkenaan dengan asbabul wurud hadith ini dalam beberapa riwayat
disebuntukan bahwa Marwan bin Al-Hakam bin Abil ‘Ash seorang khalifah Bani
Umayah di Syam mendahulukan khutbah sebelum shalat pada hari Ied. Ketika itu
seseorang berdiri seraya berkata: Shalat dulu kemudian khutbah. Maka Abu Sa’id
mengomentari sikap orang tadi dengan ucapannya: Orang ini telah menunaikan
kewajibannya karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.. .. dan seterusnya. Dalam riwayat lain disebuntukan bahwa yang melakukannya
adalah Abu Sa’id sendiri. Beliau bercerita: Kaum muslimin terus dalam keadaan
yang demikian hingga aku keluar bersama Marwan yang ketika itu menjabat amir
kota Madinah di hari Idul Fithri atau Adalahha. Ketika kami sampai di lapangan
ternyata di sana ada mimbar yang dibuat oleh Katsir bin Ash-Shalt. Kemudian ia
bermaksud naik ke mimbar padahal belum shalat. Maka kutarik bajunya tetapi dia
membalas menarik pula. Ketika sudah berada di atas dia berkhutbah sebelum
shalat. Aku katakan kepadanya: Demi Allah engkau telah merubah. Marwan
mengatakan lagi: Hai Abu Sa’id telah hilang apa yang engkau ketahui. Aku
katakan lagi: Apa yang aku ketahui lebih baik daripada apa yang tidak
kuketahui. Marwan menambahkan: Demi Allah sesungguhnya orang-orang ini tidak mau
duduk mendengarkan kami setelah shalat maka aku berkhutbah sebelum shalat. (3)Imam An-Nawawi
mengatakan: Dimungkinkan hal ini adalah dua peristiwa yang salah satunya adalah
kisah Abu Sa’id sedang yang lainnya adalah kisah orang lain di hadapan Abu
Sa’id.(4) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang hukum amar ma’ruf nahi munkar
dalam Majmu’ Fatawa 28/126: Tidak wajib atas tiap person tertentu melainkan
fardlu kifayah sebagaimana yang dinyatakan oleh al Qur`an. Adab-adab Amar
Ma’ruf Nahi Munkar. Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin hal.
123-129 secara ringkas mengatakan bahwa rukun-rukun amar ma’ruf nahi munkar ada
empat:Rukun pertama pelaku amar ma’ruf seorang yang mukallaf(5) muslim dan sanggup. Walaupun
demikian seorang anak usia tamyiz(6) juga dapat
beramar ma’ruf nahi munkar dan akan mendapatkan pahala karenanya walaupun tidak
wajib atasnya. Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa syarat seseorang
beramar ma’ruf nahi munkar harus memiliki sifat ‘adalah dan mengatakan bahwa
orang fasik tidak boleh beramar ma’ruf berdasarkan ayat:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ
Apakah kalian menyeru manusia berbuat
kebaikan sedangkan kalian melupakan diri kalian. {Al- Baqarah: 44}
Tapi pernyataan ini
tidak bisa dijadikan hujjah. Ada pula yang mensyaratkan si pelaku amar ma’ruf
nahi munkar harus mendapatkan ijin dari imam atau penguasa sedangkan rakyat
tidak boleh melakukannya. Pendapat ini keliru sebab ayat-ayat dan hadith-hadith
secara umum menunjukkan bahwa tiap orang yang melihat kemungkaran kemudian
mendiamkannya berarti dia bermaksiat. Maka pengkhususan harus dengan izin sang
imam akan mempersulit.Yang mengherankan pula Rafidlah menambah dengan tidak
boleh amar ma’ruf sebelum imam yang ma’ruf keluar. Bila mereka datang kepada
hakim untuk meminta hak-hak mereka maka katakan kepada mereka: Permintaan
tolong dan pengembalian hak-hak kalian berarti amar ma’ruf nahi munkar padahal
masanya belum datang karena imam belum keluar.Amar ma’ruf nahi munkar memiliki
lima tingkatan:1. Mengenalkan kebenaran.2. Nasehat dengan ucapan yang lembut.3.
Cercaan dan makian. Yang kita maksud di sini bukan cercaan yang kotor melainkan
kita katakan padanya seperti: Wahai jahil! Dungu! Apakah kamu tidak takut
kepada Allah? Dan lain- lain.4. Mencegah dengan keras seperti menghancurkan
alat-alat musik dan menumpahkan khamr.5. Ancaman dan hukuman dengan pukulan
atau langsung dipukul sampai ia berhenti dari perbuatannya. Tingkatan yang
kelima ini membutuhkan imam berbeda dengan yang sebelumnya sebab dikhawatirkan
terseret kepada fitnah.Jika ada yang bertanya apakah boleh seorang anak beramar
ma’ruf kepada ayahnya hamba kepada tuannya istri kepada suaminya atau rakyat
kepada penguasa? Jawabnya: Pada asalnya hal itu boleh bagi semuanya dan sudah
kita bawakan lima tingkatan tadi. Maka bagi anak tingkatannya adalah dengan
mengenalkan kebenaran kemudian nasehat dengan lembut. Adapun tingkatan yang
ketiga dan seterusnya selayaknya dilakukan oleh tuan kepada budak atau suami
terhadap istri. Adapun rakyat kepada penguasa perkaranya lebih keras dari anak
tidak ada kewajiban bagi rakyat kecuali dengan pengenalan dan
nasehat.Disyaratkan juga si pelaku itu sanggup untuk mengingkari. Adapun yang
lemah tidak ada kewajiban baginya kecuali mengingkari dengan hati. Tidak gugur
kewajiban ini bagi yang lemah tubuhnya melainkan karena dikhawatirkannya dia
terkena gangguan. Itulah makna kelemahan di sini.Begitu pula bila dia tahu
bahwa pengingkarannya diduga tidak bermanfaat maka terbagi dalam 4 keadaan:1.
Bila dia tahu kalau kemungkaran itu bisa lenyap dengan ucapan atau perbuatannya
tanpa ia terkena bahaya maka wajib baginya untuk melakukannya.2. Bila dia tahu
bahwa ucapannya tidak bermanfaat dan apabila dia berbicara akan dipukul maka
gugurlah kewajiban atasnya.3. Bila dia tahu bahwa ucapannya tidak bermanfaat
tetapi dia tidak khawatir terkena bahaya maka tidak wajib baginya karena tidak
bermanfaat. Akan tetapi hal itu disukai untuk menunjukkan syiar-syiar Islam dan
untuk mengingatkan manusia kepada agama.4. Bila dia tahu bahwa dia akan terkena
bahaya tetapi kemungkaran tersebut akan hilang dengan sikapnya seperti
menghancurkan alat-alat musik atau menumpahkan khamr padahal dia tahu bahwa dia
akan dipukul setelah itu maka kewajiban gugur darinya dan hukumnya tinggal
mustahab berdasarkan sabda Nabi:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling utama adalah ucapan
yang benar yang disampaikan di hadapan penguasa yang jahat. {HR. Abu Said Abu
Umamah Thariq bin Syihab Jabir bin Abdullah dan Suhri secara mursal lebih rinci
lihat Ash-Shahihah no. 491
Tidak terjadi
perselisihan tentang bolehnya seorang muslim menyerang barisan orang kafir
walau akhirnya dia harus mati. Tapi bila dia tahu dia tidak bisa mengalahkan
orang kafir seperti orang buta mencampakkan dirinya ke tengah-tengah musuh maka
haram hukumnya. Begitu pula bila dia melihat seorang fasiq yang minum khamr dan
di tangannya ada pedang dan dia tahu kalau dia melarang minum khamr dia akan
dibunuh maka tidak boleh baginya untuk melakukannya.
Karena hal ini tidak
memberi pengaruh yang bisa memberi manfaat. Hanya disukai baginya untuk
mengingkari bila dia sanggup untuk menghapuskan kemungkaran tersebut. Dan
tumbuh manfaat dengan sikapnya itu seperti orang yang menyerang barisan
orang-orang kafir dan lain-lain. Jika dia tahu bila teman-temannya juga akan
terkena bahaya maka tidak boleh baginya untuk melakukannya karena dia tidak
kuat untuk menolak kemungkaran itu kecuali dengan menyeret kemungkaran yang
lain. Hal itu tidak dianggap mampu sedikitpun. Dan yang dimaksudkan dengan tahu
di sini adalah perkiraan kuat. Siapa yang mengira dengan kuat bahwa dia akan
terkena bahaya maka tidak wajib baginya untuk mengingkari. Jika kuat
perkiraannya bahwa dia tidak akan terkena bahaya maka wajib baginya
melakukannya. Bukan pengecut atau pemberani yang berlebihan tetapi dinilai
dengan tabiat yang wajar. Yang dimaksud dengan bahaya di sini adalah seperti
pemukulan atau pembunuhan. Begitu juga perampasan harta atau diumumkan di negeri
itu sebagai orang jelek. Adapun penghinaan dan cercaan maka tidak menjadi
alasan untuk diam sebab orang yang beramar ma’ruf biasanya akan menemui hal
itu. {Masih dalam Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin}Rukun kedua kemungkaran itu ada
ketika itu dengan jelas . Makna mungkar adalah dilarang dilakukan menurut
syariat(7). Mungkar lebih umum daripada maksiat. Bila seseorang melihat anak
kecil atau orang gila meminum khamr maka wajib baginya untuk menumpahkan dan
melarangnya. Begitu juga bila lelaki gila berzina dengan wanita gila atau
dengan hewan maka wajib baginya untuk mencegah. Kata ada ketika itu berarti
bukan terhadap orang yang telah selesai meminum khamr atau sejenisnya. Dan juga
bukan terhadap apa yang akan didapati dalam keadaan lain seperti orang yang
mengetahui melalui tanda-tanda bahwa ada yang ingin minum di malam hari. Tidak
ada amar ma’ruf terhadap orang tersebut kecuali dengan nasehat. Kata dengan
jelas berarti orang yang melakukan maksiat tidak dengan sembunyi-sembunyi di
rumahnya dan mengunci pintunya. Orang yang bermaksiat dengan sembunyi-sembunyi
tidak boleh dimata-matai kecuali sampai diketahui oleh orang yang di luar rumah
seperti suara alat- alat musik. Bagi orang yang mendengarkannya hendaknya masuk
dan menghancurkannya. Atau jika keluar bau khamr menurut pendapat yang benar
boleh diingkari. Juga disyariatkan dalam mengingkari kemungkaran harus
benar-benar diketahui bahwa hal itu mungkar bukan termasuk perkara ijtihad.
Setiap yang masih dalam hal ijtihad tidak dikenai hal ini. Rukun ketiga syarat
orang yang diingkari. Cukup dengan sifatnya sebagai manusia. Tidak disyaratkan
orang tersebut harus mukallaf dulu sebagaimana yang telah kita jelaskan tadi
maka seperti terhadap anak-anak dan orang-orang gila tetap diingkari. Rukun
keempat tentang amar ma’ruf itu sendiri. Hal ini memiliki beberapa tingkat dan
adab:1. Si pelaku amar ma’ruf memang mengetahuinya tidak boleh baginya untuk
mencari pendengaran dari rumah yang lain untuk mendengar suara musik atau
sengaja mengendus bau khamr. Atau menyentuh sesuatu yang telah ditutup dengan
pakaian agar ia tahu apa yang ada di dalamnya. Atau mencari-cari kabar kepada
para tetangganya agar diberi tahu apa yang terjadi.
Tetapi apabila ia
diberi tahu oleh dua orang yang adil bahwa si A meminum khamr maka ketika itu
dia boleh masuk dan mengingkari.2. Mengenalkan kebenara karena ada orang yang
dengan jahil melakukan sesuatu karena menganggap perbuatan itu tidak mungkar
dan bila dia tahu dia akan meninggalkannya. Maka wajib memberitahukannya dengan
lembut. Katakan kepadanya: Memang manusia ketika lahir tidak langsung menjadi
orang yang tahu. Kita tidak mengetahui tentang masalah agama sampai para ulama
mengajari kita. Karena mungkin juga temanmu itu jauh dari para ulama. Bersikap
lembutlah kepadanya agar dia mengerti tanpa menyakitinya. Barangsiapa diam
ketika melihat kemungkaran dengan alasan tidak mau menyakiti sesama muslim
padahal dia harus berbicara, maka hal ini sama dengan mencuci darah dengan air
seni.(8)3. Melarang dengan nasehat dan menyuruhnya takut kepada Allah dengan
menyampaikan kabar- kabar yang berisi ancaman. Ceritakan kepadanya kisah-kisah
para salaf. Lakukan hal itu dengan rasa kasih sayang dan lembut tanpa perlu
mencaci dan emosi. Di sini banyak terjadi kekeliruan yang harus dijaga yaitu
seseorang yang tahu ketika menasehati menganggap dirinya paling mulia karena
dia tahu kemudian merendahkan lawan bicara karena tidak tahu. Hal itu sama
dengan seseorang yang ingin menyelamatkan orang lain dengan membakar dirinya ke
dalam api. Ini adalah kebodohan yang sangat kehinaan yang hebat dan tipuan
setan. Maka dibutuhkan barometer agar seyogyanya pelaku amar ma’ruf tadi
menguji dirinya. Yaitu dengan mengingkari kemungkaran terhadap dirinya sendiri.
Jika ternyata dia mengikuti hawa nafsunya bertujuan agar terkenal melalui amar
ma’rufnya tadi maka hendaklah ia takut kepada Allah dan mengintrospeksi dirinya
dahulu. Dikisahkan ada yang bertanya kepada Daud At-Tha’i: Bagaimana pendapat
anda terhadap seseorang yang menemui para umara kemudian menyuruh mereka kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar? Daudmenjawab Aku khawatir dia akan
dicambuk. Penanya: Dia sanggup untuk menghadapinya. Daud: Aku khawatir dia akan
terkena pedang. Penanya: Ia sanggup. Daud: Aku takut dia terkena penyakit yang
berbahaya yaitu ‘ujub {bangga terhadap dirinya sendiri}. 4. Cercaan dan makian
dengan ucapan yang keras dan menusuk. Cara ini dipilih bila tidak bisa dicegah
dengan lembut dan menunjukkan sikap mengejek peringatan dan nasehat serta terus
melakukan perbuatan tersebut. Yang kita maksudkan di sini bukan dicerca dengan
ucapan yang mengandung kekejian dan dusta. Tapi katakan kepadanya: Hai fasiq
dungu bodoh apakah kamu tidak takut kepada Allah? Allah berfirman tentang Nabi
Ibrahim:
أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
Ah celaka kalian dan apa yang kalian
sembah selain Allah. Apakah kalian tidak berakal? {Al- Anbiya`: 67}5.
Merubah dengan tangan
seperti menghancurkan alat-alat musik menumpahkan khamr dan mengusir penghuni
rumah curian dari rumah tersebut. Tingkatan ini memiliki 2 adab:a. Jangan
langsung mengadakan perubahan selama orang yang diingkari sanggup untuk memikul
hal tersebut bila dia mau pergi dari tempat yang dirampasnya tidak perlu sampai
menyeretnya.b. Menghancurkan alat
musik itu sampai benar-benar tidak bisa dipergunakan lagi. Jangan lebih dari itu.
Dan berhati-hati ketika menumpahkan khamr agar jangan sampai memecah bejana-
bejana lain jika mungkin. Jika dia tidak sanggup untuk itu kecuali harus dengan
melempar bejana itu dengan batu atau yang sejenis itu boleh baginya. Dengan itu
akan hilang harga bejana itu.
Kalau dia
menutup-nutupi khamr dengan tangannya dan hanya bisa dijalankan dengan jalan
tangan si pemilik juga dipukul maka tidak mengapa. Bila khamr berada dalam
bejana yang mulutnya kecil yang bila ditumpahkan akan memakan waktu yang lama
dan dia akan ditemui pemiliknya kemudian dicegah maka hendaklah dia
memecahkannya. Ini dianggap udzur. Jika ada pertanyaan: Apakah boleh
memecahkannya dengan paksa dan menarik penghuni untuk meninggalkan rumah dengan
paksa? Jawabnya: Itu boleh untuk penguasa. Tidak untuk rakyat karena tidak
adanya segi ijtihad dalam hal itu.6. Dengan ancaman seperti: Tinggalkan
perbuatan ini kalau tidak saya akan buat kamu jadi begini dan begitu! Jika
perlu untuk dipukul tidak mengapa.Adab dalam hal ini adalah jangan mengancam
dengan ancaman yang tidak boleh dilakukan seperti: Akan kuhancurkan rumahmu dan
kuculik istrimu. Jika dia mengucapkan dengan sungguh-sungguh maka haram
hukumnya. Jika tidak berarti dusta.7. Langsung memukul dan menendang dan
lain-lain selain senjata. Itu boleh bagi perorangan dengan syarat terpaksa dan
seperlunya. Jika kemungkaran itu sudah lenyap selayaknya dihentikan.8. Dia
tidak sanggup sendiri dan membutuhkan teman dengan mengangkat senjata karena
kadang-kadang si pelaku juga memiliki teman-teman yang menjurus kepada
peperangan. Yang benar dalam hal ini butuh kepada ijin Imam karena menjurus
kepada fitnah dan kerusakan. Dan ada juga yang menyatakan tidak perlu ijin.
{Selesai ucapan Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin}Tentang Sifat
si Pelaku Amar Ma’rufDi atas sudah disebuntukan adab-adab pelaku amar ma’ruf
dengan rinci. Dan kesimpulannya ada tiga sifat:1. Ilmu tentang amar ma’ruf dan
batas-batasnya agar berada dalam batas syariat(9).2. Wara’ karena dia
kadang-kadang tahu tentang sesuatu tetapi tidak mengamalkannya karena suatu
hal.3. Baik akhlak. Ini dasar agar bisa menahan akibat. Karena kemarahan bila
bergejolak tidak bisa ditahan dengan semata-mata ilmu dan wara’ dalam memadamkannya
selama tidak ada baik akhlak secara tabiat.Sebagian para salaf berkata: Jangan
seseorang menyuruh kepada yang ma’ruf kecuali dengan lembut dan juga ketika
melarang. Kasih sayang ketika menyuruh dan melarang. Paham dalam menyuruh dan
melarang. Bersikap lembut dalam beramar ma’ruf itu jelas. Berdasarkan ayat :
فَقُوْلاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Katakan kepadanya
perkataan yang lembut.
Pernah seorang
pemuda lewat dalam keadaan menyeret pakaiannya maka teman-teman Shilah bin
Usyaim mencercanya dengan keras. Maka Shilah berkata: Biarkanlah aku
menyelesaikannya. Kemudian Shilah berkata kepada pemuda itu: Wahai anak
saudaraku aku ada perlu sedikit denganmu. Pemuda itu berkata: Apa itu? Shilah:
Aku ingin agar engkau meninggikan sarungmu. Pemuda: Baiklah kalau begitu. Maka
pemuda itu pun mengangkat sarungnya. Kemudian Shilah beralih kepada
rekan-rekannya dan berkata: Bukankah ini yang kalian maukan. Jika kalian
mencacinya dan menyakiti dia akan membalas kalian. Beberapa Tujuan dalam
Beramar Ma’ruf Ibnu Rajab dalam Iqadhul Himam hal. 465 berkata: Ketahuilah
bahwa beramar ma’ruf dan nahi munkar kadang-kadang karena mengharap pahala dosa
jika ditinggalkan kemarahan Allah karena larangan-Nya dilanggar menasehati kaum
muslimin dan kasih sayang kepada mereka mengharap mereka terlepas dari
dosa-dosa yang akibatnya mereka akan terkena hukuman Allah di dunia dan
akhirat. Dan juga karena memuliakan dan mencintai Allah karena Dia yang paling
berhak untuk ditaati diingat dan tidak dilupakan disyukuri dan tidak dikufuri.
Dan menebus dengan jiwa dan harta terhadap kehormatan Allah yang dilanggar
sebagaimana yang diucapkan oleh sebagian salaf: ‘Aku ingin agar semua manusia
taat kepada Allah walau dagingku harus digunting.’ Dalam amar ma’ruf nahi
munkar ada sekelompok orang yang meninggalkannya sama sekali. Ada yang tidak
mengetahui patokan dan batas-batasnya hingga bertindak melampaui batas.
Beberapa faedah yang
dapat dipetik dari pembahasan ini adalah:1. Amar ma’ruf nahi munkar termasuk bagian
dari iman. Oleh sebab itu Imam Muslim memasukkan dalam kitabul iman.2. Siapa
yang sanggup untuk melaksanakan bagian-bagian itu lebih baik dari yang
meninggalkannya karena lemah walau diberi udzur.3. Siapa yang khawatir terhadap
dirinya akan dipukul dibunuh atau dirampas hartanya maka gugur kewajiban
darinya dengan tangan dan lisan tapi wajib mengingkari dengan hati.
Barangsiapa yang
hatinya tidak mengingkari yang mungkar berarti telah lenyap keimanan darinya.4.
Sangat perlunya kita melihat contoh dari para salaf dalam memahami hadith ini
agar tidak salah paham.5. Harus berilmu hingga tahu mana yang harus disikapi
dengan keras dan lembut agar jangan terbalik. Hal ini menunjukkan pentingnya
ilmu dan bimbingan para ulama.Wallahu a’lam bish shawab.
5. Ulama yang menyusun
kitab tentang asbab al wurud.
Ulama yang mula-mula
menyusun kitab ini, yang ada kitabnya dalam masyarakat, ialah Abu hafash ‘Umar
ibn Muhammad ibn Raja Al ‘Ukbary, dari murid Ahmad (380-456H)., Ibrahim Ibn
Muhammad Ibn Kamaluddin, yang lebih dikenal dengan Ibn hamzah
Al-Husainy Al-Dimasyqy (1054-1120H) dengan karyanya Al-Bayan
Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadith Al-Syarif.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Asbab wurud al hadis dapat diberi pengertian yakni suatu ilmu pengetahuan yang membicarakan
tentang sebab-sebab Nabi saw menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan
itu.
Asbab wurud al hadith ada dua yaitu sebab yang langsung disebuntukan dalam hadis itu
sendiri dan tidak langsung, maksudnya sebab disebuntukan dalam hadis lain.
Mengetahu asbab
wurud al-hadith sangat penting, karena dengan mengetahui asbab
wurud al-hadith orang tidak akan salah dalam memahami hadis. Disamping
itu bisa memperjelas maksud hadis yang sesuai dengan konteksnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an dan Terjemahnya(terjemah DEPAG),Toha Putra, Semarang
Abu baker, Bahrun. Tarjamah Al-Luma’ fi Asbab
al-Wurud. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005.
Ibrahim, M. Sa’ad. Orisinalitas dan Perubahan
Dalam Ajaran Islam, dalam Jurnal At-Tahrir, Vol. 4, 2 Juli 2004
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadis,
Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Saputra, Munzir. Ilmu Hadis,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
Wijaya , Suwarta, Salim,
Safrullah. Asbabul Wurud. Jakarta: Kalam Mulia, 2006,
An-Naisaburi, Muslim bin Al-Hajjaj.Shahih Muslim,
Dahlan, tt.
Muhammad bin Isa, Abu Isa. Sunan Turmudzi, Darul Kutub ‘Ilmiyah,
tahqiq Ahmad Syakir, tt.
Ahmad bin Syu’aib. Sunan Nasa`i. Darul Ma’rifah cet. II 1412 H-1992 M.
Ahmad bin Hambal. Musnad Ahmad, Darul Kutub Ilmiyah cet. I 1413 H-1993 M.
As-Sijistani, Sulaiman bin Al-Asy’ats. Sunan Abu Daud, Darul Fikr, Tahqiq:
Shidqi M. Jamil. 1414 H – 1994 M.
Muhammad bin Yazid bin Majah. Sunan Ibnu Majah, Darul Rayyan Lit Turats, Tahqiq: M. Fuad Abdul Baqi tanpa tahun.
At-Tamimi, Ahmad bin Ali. Musnad Abu Ya’la, Darul Qiblat, tahqiq: Irsyadul Haq Al- Atsari cet. I 1408 H – 1988 M.
Nadhim Sulthan. Qawa’id wal Fawa’id , Darul Hijrah cet. II 1410 H.
Imam Ibnu Qudamah. Mukhtashar Minhajul Qashidin, Al-Maktab Al-Islami cet. VII, Tahqiq: Zuhair Syawais. Tt.
Al-Asqalani, Imam Ahmad bin Ali bin Hajar. Fathul Bari, Darud Diyan Lit Turats Isyraf Syaikh Muhibbuddin
Al-Khathib Muhammad Fu’ad Abdul Baqi dan Qushay Muhibbuddin Al- Khatib cet. II.
An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. Syarh An-Nawawi, I’dad Ali Abdul Hamid: Darul Khair cet. II 1414 H –
1994 M.
Ibnu Taimiyah, Syaikhul Islam. Majmu’ Fatawa, Jam’u wat Tartib
Abdurrahman bin Muhammad Isyraf Ar-Riyasatul Ammah Li Syu’inil Haramain, tt.
Ali Hasan. Al-Ashalah, Dhawabith cet. I 1414 H – 1994 M.
Al-Albani, M. Nashiruddin. Silsilah Al-Ahadith Ash-Shahihah Al-Maktabah Al-Ma’arif 1415 H – 1995 M.
Al-Hilali, Salim. Iqadhul Himam, Darul Ibnul Jauzi 1414
H – 1993 M.
Majalah Salafy edisi XXV/1418 H/1998 M
Rubrik Nasehati(1) Qawaid wa Fawaid Nadhim Sulthan
hal. 285(2) Mukhtashar Minhajul Qashidin Ibnu Qudamah hal. 131(3) Fathul Bari
3/102(4) Syarah An-Nawawi 1/217(5) Mukallaf adalah seorang dewasa yang sudah
dikenai beban syari’at(6) Tamyiz adalah seorang anak yang sudah mulai dapat
membedakan dan berpikir benar(7) Makna ini sebagai bantahan terhadap pernyataan
Syafi’i Ma’arif dalam majalah Suara Muhammadiyah no. 01/02 th ke 83 hal. 20
sebagai berikut: Definisi ma’ruf adalah sesuatu yang dikenal baik dan diterima
oleh akal maupun masyarakat. Sedangkan munkar adalah sesuatu yang ditolak oleh
akal sehat. (8) Yakni maunya membersihkan tetapi dengan sesuatu yang lebih
jelek dan lebih najis.(9) Hal ini sangat penting karena jika tanpa ilmu niatnya
yang baik tidak akan tercapai karena salah dalam penerapan. Yang seharusnya
disikapi dengan keras dia sikapi dengan lembut atau sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar